Sebuah renungan menarik Kang Prie GS tentang istrinya yang bukan wanita karir alias ibu rumah tangga murni. Banyak poin-poin yang menggelitik dan perlu disimak untuk penyadaran kaum perempuan tentang keagungan peran ibu rumah tangga yang sering dipandang rendah oleh kaum genderis dan para pendekar feminis. Saya memuat tulisan Kang Prie ini karena saya pendukung GIKER-KPK2HA (Gerakan Ibu-ibu Kembali ke Rumah untuk Keagungan Perempuan, Kehormatan Keluarga dan Hak-hak Anak). Hehe… Selamat menyimak!!
a
Bisa jadi karena jenuh menjaga rumah, merawat anak dan mengurus suami, istri saya terpaksa ngomel. ”Anak-anak dan bapaknya sama saja. Menjadi tukang perintah. Saya adalah babu besar,” katanya sambil bersungut-sungut. Tapi itulah kehebatan istri, meskipun sambil ngedumel, tangannya terus bekerja. Menyingkirkan gelas kotor, melap kaca, membereskan semua barang yang berseliweran hasil kenakalan anak-anaknya.
Saya sebetulnya senang melihat istri ngomel seperti ini. Pekerjaannya pastilah berat. Dan ngomel adalah obat yang sehat. Toh sambil marah-marah begitu, pekerjaannya malah makin beres. Dengan ngedumel, tiga keuntungan diperoleh sekaligus. Kemarahan batin disalurkan, fisik disehatkan, dan pekerjaan dirampungkan. Tapi istri saya terlalu banyak diam. Ngomelpun hanya kalau terpaksa. Ini menurut saya sebuah kerugian.
Padahal sudah sejak awal, saya adalah orang yang secara dini membayangkan betapa berat pekerjaan seorang istri, khususnya lagi istri saya. Karena sebagai lelaki, saya telah kepalang menganggap, bahwa dunia paling cocok bagi istri adalah rumah dan seisinya. Artinya, itulah petisi yang harus ditandatangani sebelum akad perkawinan tiba.
Sudah tentu anggapan ini bisa keliru dan malah bisa berbahaya bagi lain keluarga. Maka anggapan ini cuma soal pilihan, tak ada kaitannya dengan benar dan salah. Yang menjadi pokok persoalannya bagi kami ialah bagaimana agar istri saya nanti kuat menahan beban berat ini. Karena bentuk pilihan lain, misalnya dengan mengizinkan istri bekerja, sudah tidak saya punya.
Dan kecurigaan yang saya bayangkan itu datang juga. Istri mulai merasa cuma objek yang dikurungi, dianiaya dan diisolasi dari dunia luar. Malah, pernah sekali ia mengancam akan benar-benar menjadi istri kuper, menjadi istri yang kurang gaul. ”Biar engkau malu. Karena hanya dengan cara begini, aku bisa membalas dendamku kepadamu,” katanya masih dengan muka ditekuk. Omelan kali ini ia sampaikan sambil memijitku.
Sekali lagi, omelan ini menyenangkan saya. Karena itu sehat untuk istri, menggembirakan untuk saya. Gembira dalam arti, betapa senang melihat istri bersungut-sungut, betapa saya menikmati kesalahpahamannya. Salah paham dalam arti: ia menyangka bahwa menjadi kuper itu musibah. Padahal bagi saya, ada jenis kuper yang asyik. Karena faktanya, ada manusia menjadi rusak karena pergaulannya, dan ada yang selamat karena kekuperannya. Menjadi modern dan menjadi kampungan, ternyata tak ada hubungannya dengan mutu kelakuan manusia.
Istri saya juga menyangka, betapa akan semakin kuat keadaan ekonomi keluarga jika ia boleh membantu saya bekerja. Sungguh ini jelas sebuah kesalahpahaman yang lain lagi. Kenapa ia meminta izin kerja padahal ia sudah sangat bekerja? Dibanding gaji kantor yang rata-rata rendah untuk pegawai pemula, bayaran istri sungguh sudah sangat tinggi. Bayaran itu berupa anak-anak yang selalu bisa berdekatan dengan ibunya, selalu mendapat guyuran perhatian kapan saja yang dia minta. Bisa rewel dan bermanja-manja kapan saja. Ayo, tanyakan kepada anak-anak yang kesepian, yang bapak-ibunya sibuk bekerja, yang ketika sangat ingin bercerita, orang tunya tak ada. Tanyakan, betapa berat derita mereka. Lalu, berapa gaji yang harus dipatok pada seorang karyawan yang bisa menghasilkan kerja segemilang ini?
Lalu soal rezeki itu, wah dia salah paham lagi. Ia menyangka, bahwa hanya karena saya yang bekerja di luaran, penghasilan itu semata-mata penghasilan saya. Ini keliru. Karena sejak semula saya telah ragu, apakah jika saya mendapatkan uang, uang ini bener-benar rezeki saya atau rezeki istri saya yang dititipkan ke saya. Jangan-jangan bagian saya kecil saja dan bagian dialah yang selama ini menopang kebutuhan keluarga. Jangan-jangan sebetulnya saya ini cuma kuli dan dia juragannya. Maka melihat seorang juragan sedang mengomeli kulinya ini, sambil membayangkan keadaan yang sebaliknya, sungguh membuat saya suka tertawa dalam hati.[]
Wah…Memang berat tugas dan tanggung jawab seorang ibu rumah tangga. Tetapi alangkah bijaksananya keinginan hanya menjadi ibu rumah tangga diputuskan oleh ibu / isteri itu sendiri. keputusan itu memang benar-benar harus dibuat dengan kesadaran penuh. Sehingga segala konsekuensi dan akibat yang akan dipanggul oleh isteri/ ibu rumah tangga tidak menjadi beban berat. karena memang diputuskan dengan mantap sehingga apapun yang dilakukan, seberat apapun konsekuensinya bukan masalah lagi buat isteri / ibu rumah tangga.
Keputusan menjadi seorang isteri / ibu rumah tangga adalah keputusan yang mulia. tetapi bukan berarti bagi seorang isteri yang memlilih untuk bekerja dan mempunyai karir tinggi, tidak mulia. Semuanya ini tergantung bagaimana kita menyikapinya dan tujuan apa yang sebenarnya ingin kita raih: sebagai ibu rumah tangga atau seorang ibu berkerja.
Dimana-mana seorang ibu ingin memberikan yang terbaik bagi anak-anak dan keluarga, tanpa melihat apakah dia hanya seorang ibu rumah tangga atau berkarir.
Sekali lagi semua itu tergantung dari tujuan, landasan dan komitment yang hendak dicapai.
makanya dalam agama islam, rumah tangga adalah separuh dien, harus berjiwa besar,belajar dari peristiwa sehari-hari, mempunyai kasih sayang dan cinta energi yang berlimpah akan mengahsilkan sosok istri yang semakin tua semakin cantik he..he.
Aakh…. Andaikan Ibu-ibu di Indonesia ini seperti Meidiana, amanlah negerinya, suburlah bangsanya, majulah negaranya, terjagalah anak-anaknya dan terhormatlah perempuan-perempuannya. Persis seperti lagu Indonesia Raya itu: “Hiduplah tanahku, hiduplah negeriku, bangsaku, rakyatku semuanya …. Indonesia Raya… Indonesia Raya, hiduplaaah… Indonesiaaaa Rayaaa…. !!”
menjadi istri yang baik, tidak mesti selalu di rumah. Sebab tidak menutup kemungkinan badan-nya di rumah tapi jiwanya melayang entah kemana. Menjalani rutinitas kehidupan rumah dengan keterpaksaan.
jadi semua berpulang pada kondisi obketif masing-masing. Buat mereka yang ‘terpaksa’ mencari penghidupan diluar, tetapi dengan semangat tanggung jawab keluarga tentu punya nilai plus. Selain menjadi ibu rumah ‘luar’ tangga yang baik, ia juga mampu memberi tambahan penghasilan buat keluarga yang ‘dirasa’ belum ‘standarize’.
tapi buat mereka yang semua sdh ‘standarize’ dari penghasilan suami, ada baiknya kaga usah cari tambahan diluaran. cause di luar seram… ada setan… hihi..hi tapi di luar juga ada ketan. pilih mana?
Is really in my home.
setuju dengan pendapat di atas 🙂
Saya mengalami sendiri, bagaimana nyaman&tentramnya di keluarga saya..dengan bapak-ibu sebagai karyawan. Masalah kedekatan dengan keluarga itu masalah strategi-nya saja…
pedapat pribadi saya : Istriku saya bolehkan bekerja karena:
1. mamaksimalkan potensi yang dia punya.
2. safety, umur mnusia hanya ALLAH yg tau, bedasarkan pengalaman, ada teman ketika bpkny ada dia tidak pernah kekurangan bahkan berlebihan secara harta. hidup keluarganya bahagia. tp k tiba-2 sang bapak di panggil sang maha kuasa, untuk beberapa tahun masih bisa bertaha, tp setelah itu ekonomi keluarga mulai terguncang. Karena keluarga pada awalnya hanya mengandalkan bapaknya saja. mungkin ini bisa di atasi kl sudah punya usaha sendiri dan dapat bekrja secara sistem/ asuransi
3. dengan istri pinter&berkarya, sbagai suami juga akan berpikir ulang kl mo macem-macem 😉
btw pengen juga istri tetap bekarya/ berpenghasilan meski dari rumah
Menurut saya berkarya dan meningkatkan kualitas diri ntuh nggak mesti dari luar, pan jaman sekarang udah canggih !
Istri2 di rumah bisa aje mulai usaha E-Commerce atau sgala macem-nya lah, atau mereka pan pade bisa belajar dari Internet !
-Kalo kagak punya internet & komp ?
Kan masih ada buku, dan istri2 bisa mulai nulis, kali aje ntuh buku bisa jadi best-seller !
Hehehehe,,,
Terus, istri di rumah juga lebih bisa ngedalemin agama, bisa liat tafsir2 terus kali aja terkenal terus diminta ceramah !
Kan baik toh ?
Dan menurut ane penceramah ntuh nggak sibuk kalo cuman mao nyari kesibukan laen slaen ngrus rumah tangga, en makin deket sama Allah.