Polemik Islam Liberal versus “Islam Radikal”

Bagi yang senang mengikuti perkembangan pemikiran Islam di Indonesia dan perdebatan-perdebatan antara keduanya, berikut ini saya tampilkan perdebatan antara kelompok Islam Liberal dengan “Islam Radikal.”  Kelompok kedua saya beri tanda kutip karena, berbeda dengan Islam Liberal, Islam Radikal sesungguhnya bukan pengakuan mereka, itu cap yang dikenakan pada mereka. Selain itu, tulisan disini tidak selalu aktifis Islam Liberal atau Islam Radikal melainkan para pendukungnya. Perdebatan ini menggambarkan polemik yang menarik antara kedua kelompok. Kita bisa mengikuti argumen-argumen mereka, mana yang lebih dewasa, lebih masuk akal dan seterusnya untuk menambah wawasan kita. Kelima artikel ini dimuat dalam harian Media Indonesia bulan Juni 2006. Selamat mengikuti dan silahkan berkomentar!! (Salam, Moef).

____________________________________

Kelompok Islam Anarkis

Saiful Mujani (Direktur Eksekutif Lembaga Survei Indonesia (LSI)/Peneliti Freedom Institute)

‘Kelompok Islam anarkis’ adalah sekumpulan orang yang bersikap dan bertindak atas nama Islam dengan melawan hukum dan konstitusi yang berlaku. Pemerintah menya takan akan menindak tegas individu atau kelompok pelaku anarkistis yang mengatas namakan Islam. Kok baru bilang. Padahal sudah sangat jelas bahwa setiap tindakan anarkistis, tindakan melawan konstitusi dan tindakan melawan hukum dengan meng atasnamakan Tuhan atau agama sekalipun sudah seharusnya ditindak tegas. Indonesia bukan negara Islam, dan bukan pula negara Tuhan.

Walaupun dalam penegakan hukum aparat sering dinilai lambat, tapi untuk kasus-kasus yang berkaitan dengan pengatasnamaan Islam, terkesan lebih lambat lagi. Terkesan sangat hati-hati. Mungkin karena tindakan anarkistis dengan atas nama Islam dipandang lebih sensitif dibanding tindakan anarkistis lain, misalnya aksi kekerasan yang dilakukan sekelompok buruh.

Orang-orang yang bernaung di bawah Front Pembela Islam (FPI) misalnya sudah sering melakukan tindakan anarkistis, melawan hukum, dengan klaim membebaskan masyarakat dari maksiat, atau dari paham-paham yang diyakini menyesatkan Islam dan umat Islam. Yang terakhir misalnya terjadi dalam kasus penyerangan dan pengu siran terhadap kelompok Jamaah Ahmadiyah. Pemerintah terkesan membiarkan aksi anarkistis terhadap jemaah ini. Apakah ini karena pemerintah dan aparat penegak hukum takut terhadap kelompok-kelompok yang mengatasnamakan Islam?

Takut. Bagaimana tidak? Pernyataan pemerintah yang akan menindak tegas individu atau kelompok yang melakukan tindakan anarkistis yang mengatasnamakan Islam beberapa hari terakhir ini merupakan hasil secara langsung ataupun tidak langsung dari bangkitnya perlawanan dari kelompok Islam lain, terutama satu kelompok Nahdlatul Ulama yang membela Presiden Abdurrahman Wahid dari tindakan sewenang- wenang kelompok anarkis tersebut. Pemerintah baru bereaksi setelah melihat bahwa di masyarakat cukup besar yang menentang kelompok-kelompok Islam anarkistis itu. Untuk tegaknya hukum pemerintah tampaknya butuh ditekan, dan bahwa tindakannya didukung oleh kelompok masyarakat luas. Mengapa pemerintah takut pada kelompok -kelompok anarkis yang mengatasnamakan Islam tersebut?

Pemerintah selama ini mungkin mengira bahwa mayoritas umat Islam mendukung tindakan-tindakan anarkistis kelompok-kelompok yang selalu mengatasnamakan umat Islam tersebut. Bersikap tegas terhadap mereka dikira akan memunculkan perlawanan dari kekuatan mayoritas umat. Begitukah? Tidak. Walaupun sering mengatasnamakan umat Islam, organisasi-organisasi Islam seperti FPI, Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), dan Hijbut Tahrir Indonesia (HTI) tidak banyak dikenal umat. Apalagi mendapat dukungan luas dari mereka. Yang mendukung apa yang diperjuangkan FPI tidak lebih dari 17%, MMI tidak lebih dari 11%, dan HTI tak lebih dari 3%. Memang lumayan banyak, tapi masak mau mengabaikan yang 80% lebih dari umat Islam?

Lebih dari itu, pemerintah takut bertindak tegas terhadap tindakan-tindakan anarkistis mereka karena pemerintah atau elite pemerintah gagal melepaskan diri dari monopoli dan artikulasi sekelompok orang atas pemahaman Islam, atau mungkin tidak punya visi sendiri tentang Islam yang konsisten dengan konstitusi kita. Pemerintah sendiri atau setiap pemerintah, seharusnya punya pandangan sendiri tentang Islam yang konsisten dengan konstitusi kita, yakni UUD 45. Jangan membiarkan diri diombang-ambing oleh dinamika pemahaman Islam di masyarakat, yang bisa naik turun dari waktu ke waktu, yang bisa bergeser dari satu paham Islam ke paham Islam yang lain. Kalaupun terbuka terhadap paham keislaman yang berkembang di masyarakat, pemerintah harus tetap berpegang pada konstitusi yang berlaku, dan menjadikannya sebagai dasar untuk menilai berbagai paham dan praktik keagamaan yang berkembang di masyarakat. Jangan membiarkan negeri ini penuh dengan ketidakpastian untuk hal-hal mendasar.

Pemahaman Islam yang konsisten dengan konstitusi kita sebenarnya sudah dikembangkan oleh para ulama dan intelektual muslim di Tanah Air dalam kurun waktu yang cukup panjang. Dalam 35 tahun terakhir, ulama-ulama NU seperti almarhum Kiai Siddiq, Kiai Sahal Mahfudh, Kiai Abdurrahman Wahid, dan cendekiawan Nurcholish Madjid, untuk menyebut beberapa nama, telah melakukan ijtihad yang hasilnya adalah keislaman yang menjadi dasar bagi keindonesiaan sebagaimana terkristalisasi dalam konstitusi kita sekarang. Mereka telah membantu meletakkan dasar bahwa menerima Pancasila dan UUD 45 adalah perwujudan keberislaman muslim dalam konteks Indonesia yang majemuk, yang bineka tunggal ika. Secara teologis, tidak ada yang dosa dalam penerimaan terhadap konstitusi tersebut. Sebaliknya, ia merupakan ibadah dalam konteks keberislaman dan keindonesiaan.

Komitmen yang kuat terhadap keislaman dalam konteks keindonesiaan ini menjelma dalam proses amendemen UUD 45 tahun 2002 yang lalu. Ada aspirasi di masyarakat, misalnya dari FPI dan HTI, dan di MPR (Fraksi PBB, Partai Keadilan, dan PPP) agar Pasal 29 UUD 45 diamendemen dengan memasukan aspirasi agar negara bertanggung jawab dalam melaksanakan syariat Islam dalam kehidupan sosial-politik umat. Aspirasi ini ditolak MPR. Penolakan ini adalah wujud dari komitmen bangsa dan umat Islam pada umumnya bahwa Pancasila dan UUD 45 yang kita terima sekarang adalah sebuah kesepakatan paling pas untuk keberislaman muslim Indonesia dalam kehidupan sosial-politik.

Kesepakatan ini sekarang dalam tantangan, atau bahkan ancaman, bukan hanya dalam paham dan sikap, tapi juga dalam tindakan kolektif. Misalnya dalam bentuk sweeping terhadap kelompok-kelompok masyarakat yang dianggap melakukan maksiat dan menyimpang dari akidah Islam seperti yang dilakukan FPI, dalam demonstrasi yang menuntut syariat Islam diterapkan dengan mengganti demokrasi dengan khilafah misalnya, seperti sering dilakukan HTI.

Tindakan anggota-anggota FPI yang sering merusak harta benda, mengganggu keter tiban umum, dan bahkan mengancam nyawa, meskipun mengatasnamakan Allah, lebih mudah dimasukkan ke tindakan kriminal. Karena itu, penegak hukum seharusnya lebih mudah menghadapi masalah ini.

Tapi tindakan kolektif HTI, dan sering pula tindakan kader dan para pendukung PKS, yang dilakukan secara damai dalam bentuk demonstrasi misalnya, yang menuntut pemberlakuan syariat, penggantian demokrasi dengan khilafah, dan penggantian konsep kebangsaan dengan umat, tentu saja tidak bisa dimasukkan ke dalam tindakan kriminal. Tapi jelas bahwa substansi dari tindakan kolektif semacam ini bertentangan dengan konstitusi kita. Bertentangan dengan Islam yang telah diterjemahkan ke dalam konstitusi kita, yang sampai hari ini dipegang sebagai kesepakatan nasional.

Pertanyaannya kemudian, bolehkah tindakan kolektif seperti demonstrasi atau dengar pendapat ke DPR atau MPR sebagai upaya untuk meyakinkan publik dan pejabat publik bahwa demokrasi dan konstitusi kita harus dihapus dan diganti dengan syariat atau khilafah dengan alasan sekarang kita berada dalam alam kebebasan atau demokrasi? Bolehkah kita menghapus demokrasi, misalnya mengganti dengan khilafah, dengan atau atas nama demokrasi sendiri?

Seorang atau sekelompok demokrat, yakni orang atau sekelompok orang yang punya komitmen terhadap tegak dan berjalannya demokrasi dengan baik, tidak mungkin menoleransi pembunuhan demokrasi demi atau atas nama demokrasi sendiri. Seorang demokrat bukan seorang nihilis, yakni orang yang membenarkan dirinya musnah. Pertanyaan justru sebaliknya, mengapa orang-orang atau kelompok antidemokrasi menggunakan jalan demokrasi untuk mencapai cita-citanya yang antidemokrasi? Mengapa tidak menggunakan jalan nondemokrasi untuk mencapai cita-cita nondemokrasi, misalnya lewat otoritarianisme elite keagamaan seperti dalam wilayatul faqih (kekuasaan para ulama) atau ahl al-hall wa’l-‘aqd (dewan legislatif Islam)?

Akankah lembaga-lembaga politik Islam ini terbentuk secara demokratis di negeri kita? Tidak mungkin, karena lembaga-lembaga itu isinya hanya orang Islam, dan hanya laki -laki. Sementara demokrasi memberikan hak yang sama terhadap setiap warga apapun agama dan gendernya. Tujuan nondemokrasi tidak bisa dicapai lewat jalan demokrasi. Kelompok-kelompok Islam anarkis tidak dibenarkan mencapai tujuan nondemokrasi mereka dengan demokrasi.
(Media Indonesdia 2006/6/12 )
_____________________

a
NU dan Delegitimasi Anarkisme

Zuhairi Misrawi (Intelektual Muda NU)

TULISAN Mas Ipung–panggilan akrab Saiful Mujani–tentang Kelompok Islam Anarkis (12/6), hemat saya, patut diapresiasi dan dieksplorasi lebih jauh. Karena, secara faktual organisasi keagamaan yang mengusung kekerasan, baik kekerasan paradigmatik dan kekerasan aksional, sudah membatin dalam konteks bernegara dan berbangsa. Tindakan mereka sudah pada kondisi yang mengancam keadaban publik, kebebasan berekspresi, kebebasan beragama, dan kebebasan berpendapat. Di antaranya, penyerangan atas Jamaah Ahmadiyah, Komunitas Lia Eden, penutupan sejumlah gereja dan lain-lain.

Yang terakhir, aksi berlebihan, tidak sopan, dan tidak pantas yang dilakukan oleh kelompok anarkis terhadap mantan Presiden RI dan cucu pendiri Nahdlatul Ulama, KH Abdurrahman Wahid di Purwakarta dalam acara dialog lintas agama. Bahkan saya sendiri dalam sebuah seminar di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, mendengarkan langsung salah seorang aktivis muslim menyebut sesuatu yang tidak pantas terhadap KH Abdurrahman Wahid. Dan kata-kata itu pula kerap kali disampaikan di dalam khotbah-khotbah, yang kebetulan di antara jemaahnya adalah warga Nahdliyin yang sangat menghormati mantan Ketua Umum PBNU tersebut.

Jadi, selain bertindak dan bersikap atas nama Islam dengan melawan hukum dan konstitusi yang berlaku, sebagaimana ditulis oleh Mas Ipung, dalam gerakannya mereka tidak memedomani keadaban publik. Kendatipun demonstrasi mereka berjalan damai, tapi khotbah dan sejumlah tulisan mereka dapat memotivasi munculnya tindakan anarkisme. Bahkan beberapa komentar di stasiun televisi secara nyata dapat dipahami sebagai bentuk ancaman dan intimidasi.

Karena itu, langkah PWNU Jawa Timur dengan mengeluarkan surat edaran agar war ga NU tidak ikut serta dalam kegiatan salah satu ormas Islam, merupakan salah satu bentuk keprihatinan terhadap ulah para kelompok anarkis. Tidak hanya itu, laporan dari PCNU Jember bahwa gerakan kalangan puritan-anarkis telah meresahkan warga NU, sehingga meminta kalangan muda, baik intelektual maupun aktivis untuk merapatkan barisan dalam rangka menghadapi manuver-manuver mereka. NU sebagai organisasi muslim terbesar yang mengusung moderatisme harus berada pada garda terdepan untuk melawan ekstremisme.

Melihat fakta seperti ini, sebenarnya langkah pemerintah untuk mempertimbangkan kembali eksistensi kelompok yang mengusung anarkisme dan mengganggu keadaban publik harus didukung sepenuhnya. Karena anarkisme secara eksplisit merupakan ancaman dalam konteks berbangsa dan bernegara. Apa ukuran untuk menilai, bahwa sebuah kelompok melakukan anarkisme. Hemat saya, setidaknya ada dua ukuran yang bisa dipakai: Pertama, tindakan kekerasan itu sendiri, seperti pengusiran, perusakan, penyerangan, intimidasi, teror dan lain-lain. Dalam banyak hal, kelompok anarkisme bukanlah kelompok yang semata-mata menyebarkan pemikiran, tetapi mereka melakukan tindakan yang melanggar hukum. Konsekuensinya, tidak sedikit dari publik yang merasa hak-haknya merasa dirugikan dengan tindakan mereka. Lebih dari itu, bagi mereka yang mengatasnamakan Islam, secara otomatis Islam akan distigmakan sebagai agama yang menganjurkan kekerasan akibat tindakan mereka. Di sinilah, tindakan kekerasan dengan mengatasnamakan agama harus ditolak seratus persen, karena hanya akan meninggalkan nila bagi agama. Nila setitik, susu sebelanga. Modernisasi Islam akan juga tercoreng akibat tindakan mereka.

Dalam konteks bernegara dan berbangsa pun demikian, bahwa demokrasi akan mengalami gangguan serius akibat aksi hakim sendiri tersebut. Karena hukum yang berlaku adalah hukum rimba. Siapa yang kuat untuk menebar kekerasan, dialah seolah-olah yang mempunyai hak untuk mengambil langkah hukum sendiri. Akibat ketidakseriusan pemerintah dalam menindak tegas para pelaku anarkistis, mereka pun makin menjadi-jadi dan bermetamorfosa dalam bentuk gerakan yang beraneka ragam. Bahkan gerakan mereka menjadi gerakan masif, yang menasional. Apalagi di tengah berlapisnya masalah yang dihadapi bangsa ini dan situasi global yang sedang timpang, tindakan mereka seolah-olah mendapatkan angin segar. Mereka pun akhirnya dengan mudah mendapat justifikasi untuk melakukan kekerasan. Dari soal kemiskinan, hilangnya identitas, serta perjuangan atas nama agama dan lain-lain dapat mengukuhkan tindakan kekerasan mereka.

Namun, yang patut disadari bersama, bahwa kekerasan apa pun alasannya tidak bisa dibenarkan dalam naungan demokrasi. Karena demokrasi bukan anarki, tapi konstitusi. Bangsa yang dapat dikategorikan demokratis adalah bangsa yang menjadikan konstitusi atau hukum sebagai pijakannya, bukan anarkisme dan bukan pula hukum rimba.

Kedua, perlu mengantisipasi sikap atau tindakan yang dapat memotivasi kekerasan. Dalam hal ini, harus diakui bahwa pandangan kalangan puritan adalah pandangan yang dapat dengan mudah mendorong kekerasan. Misalnya, pemurtadan, penyesatan, pengafiran, dan penghalalan darah merupakan istilah keagamaan yang paling sering dikeluarkan oleh kelompok puritan. Nah, fatwa-fatwa semacam ini sebenarnya harus mendapat perhatian serius dari pemerintah. Karena istilah-istilah tersebut merupakan istilah pandangan kelompok tertentu, bukan istilah yang dipakai dalam konstitusi kita. Lebih dari itu, penyerangan terhadap Ahmadiyah dan KH Abdurrahman Wahid salah satunya juga dimotivasi oleh sejumlah fatwa dan pandangan keagamaan yang dapat memotivasi tindakan anarkisme.

Dalam rangka mengantisipasi tindakan yang dapat memotivasi kekerasan, hemat saya, pemerintah harus melakukan kajian secara serius terhadap sejumlah fatwa, buku, karya, dan terbitan yang dapat diidentifikasi sebagai motivasi kekerasan. Langkah tersebut mutlak diperlukan bukan dalam rangka memberangus kebebasan berpikir, tetapi dalam rangka mengantisipasi meluasnya kekerasan yang mengatasnamakan pandangan kelompok tertentu. Sebab bila tidak diantisipasi, akan terjadi masifikasi kekerasan, bahkan terorisme atas nama agama.

Yang lebih penting diantisipasi juga adalah adanya upaya untuk mengganti Pancasila dengan Piagam Jakarta. Karena agenda seperti ini merupakan salah satu tujuan utama dari kelompok-kelompok yang mengusung anarkisme tersebut. Bila dalam tindakan kekerasan mereka terbelah dalam dua kelompok, baik kekerasan secara langsung maupun kekerasan secara tidak langsung. Tapi dalam agenda mengganti Pancasila dengan Piagam Jakarta, mereka menampilkan diri secara terbuka.

Dalam Ijtima’ Komisi Fatwa MUI di Pesantren Modern Gontor, Ponorogo, misalnya mereka sepakat bahwa NKRI adalah keputusan final. Tapi di pihak lain, mereka justru mendorong pemberlakuan perda-perda syariah di pelbagai daerah, dari tingkat provinsi, kabupaten-kota, kecamatan, bahkan di tingkat desa. Fakta ini dapat dibaca sebagai strategi baru mereka, yaitu menggunakan desentralisasi politik sebagai salah satu tangga untuk mengusung ideologi politik mereka. Mereka ingin mengubah Pancasila dari sistem politik yang paling bawah. Tentu saja, dalam prinsip demokrasi, strategi politik kalangan puritan-anarkis seperti itu merupakan salah satu bentuk penghancuran demokrasi dari dalam. Mengapa demikian?

Karena mereka menggunakan standar ganda dalam demokrasi (double standard). Mereka hanya mengambil demokrasi sebagai prosedur dan legitimasi bagi ideologi politik mereka. Atas nama mayoritas, mereka ingin menggantikan demokrasi dengan negara-agama. Alih-alih ingin menghadirkan kedamaian dan toleransi, mereka sering kali membunuh karakter kelompok muslim moderat sebagai kelompok muslim yang sesat, bahkan darahnya halal.

Di sinilah, sejumlah komponen dalam Nahdlatul Ulama, antara lain Forum Anak Muda NU, Fatayat NU, PMII, PWNU, PCNU, bahkan PBNU sendiri mengajak seluruh warga negara agar tetap berpijak pada Pancasila sebagai landasan ideal dalam berbangsa dan bernegara serta agar senantiasa menjaga keadaban publik. Pemerintah sejatinya bertindak tegas terhadap pelbagai macam tindakan anarkisme yang makin lama makin meresahkan seluruh masyarakat.

Ke dalam, tentu saja Nahdlatul Ulama, baik secara struktural maupun kultural akan senantiasa mengampanyekan Islam yang ramah dan toleran serta menjauhi tindakan kekerasan dan paham yang memotivasi kekerasan. Sedangkan ke luar akan bersama-sama pemerintah untuk menjaga keutuhan NKRI dan menjadikan Pancasila sebagai pedoman dalam berbangsa dan bernegara. Sejak Muktamar NU 1984 di Situbondo hingga muktamar terakhir di Donohudan, Solo, NU tetap pada pendirian bahwa Pancasila sebagai ideologi dalam berbangsa dan bernegara yang sudah final.

Dengan demikian, sikap NU seperti ini harus menjadi inspirasi bagi seluruh elemen muslim lainnya agar tidak menggali lubang yang salah untuk kesekian kalinya. Karena kekerasan dan upaya mengganti Pancasila dengan ideologi yang lain merupakan sebuah sikap tidak realistis.
(Media Indonesia 2006/6/14)
_______________________

Paradoks Demokrasi Kelompok Liberal

Muhammad Ismail Yusanto (Juru Bicara Hizbut Tahrir Indonesia)

TULISAN Saiful Mujani peneliti Freedom Institute dalam opini harian umum Media Indonesia, edisi Senin (12/6) perlu ditanggapi. Ada kesan sangat kuat bahwa tulisan itu bertujuan untuk mendorong negara melarang organisasi-organisasi yang oleh Mujani disebut sebagai kelompok anarkistis Islam.

Mujani pun secara sepihak membuat pengertian kelompok anarkistis Islam sebagai sekumpulan orang yang bersikap dan bertindak atas nama Islam dengan melawan hukum dan konstitusi yang berlaku. Tanpa sungkan ia menunjuk hidung dan menyebut nama kelompok tersebut adalah Front Pembela Islam (FPI), Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Justru di sinilah letak paradoks pertama dari Mujani yang mengklaim sebagai demokrat dan pendukung liberalisme.

Seperti diketahui pilar penting demokrasi adalah penegakan hukum. Setiap keputusan hukum haruslah melalui proses pengadilan untuk menunjukkan apakah terdakwa melawan hukum atau tidak. Sementara itu Mujani melalui tulisannya, telah menjadi hakim dengan memutuskan kelompok-kelompok di atas sebagai melawan hukum dan bertentangan dengan konstitusi, tanpa proses pengadilan.

Paradoks kedua, dalam sistem demokrasi yang sekuler, peran negara sangat minimal dalam mencampuri urusan agama. Dan tentu saja negara tidak bisa memonopoli penaf siran terhadap agama. Namun, Mujani malah mendorong negara untuk memiliki pan dangan sendiri terhadap pemahaman Islam berdasarkan konstitusi. Hal ini justru akan memunculkan monopoli tafsir oleh negara terhadap atau tentang agama.

Monopoli tafsir negara terhadap agama ini justru akan mematikan dinamika perkem bangan pemikiran agama yang berdasarkan demokrasi merupakan bentuk kebebasan berpikir dan berpendapat.

Dengan kata lain, Mujani dengan usulan itu secara sadar atau tidak telah membelenggu kebebasan berpikir dan berpendapat dari dalam masyarakat. Secara demikian, Mu jani telah sedang mengingkari prinsipnya sendiri. Sebuah paradoks, bahkan hipokrisi yang amat memalukan.

Monopoli tafsir agama sama bahayanya dengan monopoli tafsir negara terhadap Pancasila yang dalam perjalanan sejarah Indonesia telah menimbulkan sikap otoritarian negara yang jelas bertentangan dengan demokrasi. Pasalnya, Pancasila merupakan nilai-nilai terbuka yang memungkinkan ditafsirkan oleh banyak pihak. Monopoli taf sir terhadap Pancasila kemudian menjadi tragedi kemanusiaan meluas ketika monopoli tafsir ini digunakan untuk memberangus pemikiran yang berbeda dengan sang penafsir.

Hal inilah yang terjadi di masa Orde Lama dan Orde Baru. Soekarno menafsirkan Pancasila berdasarkan pemikirannya sendiri yang cenderung sosialistik. Atas nama Pancasila, Soekarno melegalisasi kebijakan demokrasi terpimpinnya. Padahal yang ada sebenarnya adalah tafsir Soekarno terhadap Pancasila. Tidak jauh beda dengan Soeharto yang membuat tafsir tunggal atas Pancasila berdasarkan pemahaman ideo loginya yang cenderung kapitalistik. Penafsiran tunggal Soeharto ini kemudian diklaim menjadi tafsir negara. Yang terjadi kemudian pemberangusan kelompok oposisi yang berseberangan dengan Soeharto dan kepentingannya atas nama bertentangan dengan Pancasila.

Upaya ini pulalah yang sekarang kembali menggejala. Dan sungguh aneh, ini justru dilakukan oleh kelompok dan orang seperti Mujani yang mengklaim dirinya sebagai pejuang demokrasi dan kebebasan (seperti nama lembaga tempat dia ada: Freedom Institute). Beberapa kelompok yang dikenal sebagai kelompok liberalis berupaya me nafsirkan Pancasila dan agama (Islam) dan memprovokasi negara untuk mengadopsi tafsir mereka terhadap Pancasila dan Islam. Kemudian berharap negara memberangus kelompok yang tidak sejalan dengan pemikiran dan kepentingan mereka berdasarkan tafsir tunggal kelompok ini terhadap Pancasila dan Islam.

Lagi-lagi tampak paradoks dari pemikiran Mujani. Satu sisi mengecam pemerintah karena gagal melepaskan diri dari monopoli penafsiran sekelompok orang atas pema haman Islam, tapi di sisi lain Mujani merekomendasikan tafsiran kelompok tertentu atas Pancasila untuk menjadi tafsir negara.

Kalau memang konsisten dengan prinsip demokrasi, semua pihak seharusnya diberi hak untuk menafsirkan Pancasila yang memang merupakan pemikiran terbuka. Termasuk seharusnya diberikan kesempatan terbuka bagi kelompok Islam yang meyakini nilai-nilai utama Pancasila seperti Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Kerakyatan, dan Keadilan bisa dicapai dengan penerapan syariat Islam. Sungguh sangat tidak demokratis, melarang kelompok masyarakat untuk beraspirasi berdasarkan keyakinannya.

Paradoks lain yang menonjol adalah usulan pelarangan aspirasi yang oleh Mujani dianggap mengancam demokrasi. Mujani mengatakan tindakan kolektif HTI dan PKS yang secara damai menyuarakan aspirasi syariah Islam tidak bisa dibenarkan. Bukan kah prinsip penting demokrasi adalah kebebasan berpendapat? Bagaimana mungkin rakyat yang berdemonstrasi secara damai, datang ke DPR, melakukan dengar pendapat dengan wakil rakyat dikatakan bertentangan dengan konstitusi? Lagi pula, pasal dan ayat mana dari konstitusi dan perundangan yang ada yang melarang rakyat untuk menuntut penerapan syariah? Bukankah berdasarkan demokrasi, wakil rakyat harus mendengar suara dan aspirasi rakyat, apa pun bentuknya. Lepas dari aspirasi itu diterima atau tidak?

Sama ironisnya, menyumbat aspirasi rakyat karena ditafsirkan bertentangan dengan kesepakatan nasional yang sudah ada. Padahal konstitusi sendiri memberikan peluang tentang adanya perubahan kesepakatan itu. Artinya, kesepakatan nasional seharusnya diserahkan kepada aspirasi rakyat apakah mau dipertahankan atau mau diubah di ma sa mendatang sebagaimana yang terjadi pada UUD 45 yang telah berulang-ulang mengalami ameandemen meski di masa Orde Baru hal itu diharamkan.

Tapi gejala paradoks ini bukan hanya terjadi di Indonesia dan bukan hanya dilakukan oleh Mujani dan kawan kawannya. FIS, partai Islam di Aljazair, yang berhasil menang pemilu secara demokratis disana dibungkam hanya karena FIS ingin menerapkan syariah dan tujuan ini dikatakan bertentangan dengan demokrasi. Apa yang menimpa HA MAS di Palestina sekarang ini juga hampir sama. Meskipun menang secara demokratis, pemerintah HAMAS dilemahkan karena tidak sejalan dengan kepentingan Barat. Di Prancis, jilbab dilarang karena dianggap mengancam sekularisme. Melihat para doks ini akhirnya wajar saja kalau banyak pihak beranggapan demokrasi hanyalah kebebasan semu yang digunakan oleh negara Barat dan kelompok sekuler untuk ke pentingannya sendiri. Mujani dan kelompok liberal juga tampaknya mengidap penyakit yang sama.

Oleh karena itu, sungguh aneh bila pemahaman dan ekspresi termasuk aspirasi untuk penerapan syariah, khususnya dari kelompok yang dianggap radikal, dinilai ‘berbahaya’, dan karenanya ‘perlu dicemaskan dan dihadapi dengan pembubaran’ oleh Mujani yang telah dengan vulgar mengusung idiom liberal.

Bila memang Mujani konsisten dengan nilai-nilai kebebasan, mengapa orang lain tidak boleh bebas bersikap ‘radikal’ dan bebas juga menerapkan syariah? Bukankah keradikalan dan penerapan syariah juga merupakan pilihan bebas seseorang, termasuk pilihan bebas masyarakat dan daerah yang diekspresikan dengan lahirnya perda-perda? Apakah kebebasan hanya boleh menjadi milik Mujani dan kelompok liberal saja, sedangkan orang lain tidak boleh bebas? Dan mengapa pula lantas Mujani membelok kan perkembangan berupa kegairahan masyarakat untuk menerapkan syariah yang sesungguhnya wajar belaka di negeri yang mayoritas muslim ini menjadi isu ancaman terhadap NKRI?

Kita pantas bertanya kepada Mujani, siapa sesungguhnya yang membahayakan NKRI, umat Islam dengan ormasnya yang sejak kemerdekaan berjuang di garda paling depan untuk kebaikan negeri ini atau mereka kaum separatis seperti RMS? Umat Islam yang berjuang untuk tegaknya ekonomi Islam dengan sistem keuangan dan perbankan syariahnya yang sudah terbukti sangat andal ataukah mereka yang terus mempertahankan sistem perbankan ribawi dan para pelaku kebijakan BLBI yang hampir menenggelam kan negeri ini dalam krisis moneter baru lalu?

Umat Islam yang berjuang untuk tegaknya syariah agar sumber daya alam (SDA) benar-benar dikelola untuk rakyat atau mereka yang justru menyerahkan itu semua kepada perusahaan asing? Umat Islam yang berjuang agar negeri ini benar-benar menjalankan syariah sesuai prinsip ketuhanan dari sila pertama Pancasila atau justru mereka, termasuk Mujani, yang terus menyerukan sekularisme dan meminggirkan Islam dari kancah pengaturan bangsa dan negara? Prinsip ketuhanan yang mana yang dimaksud Mujani? Wallahu’alam bi al-shawab.
(Media Indonesia 2006/6/14)
________________________

Pembubaran Ormas Radikal, Mungkinkah?

Khamami Zada
Manajer Program Kajian Agama dan Kebudayaan PP Lapesdam NU

MUNGKINKAH ormas radikal dibubarkan? Pertanyaan ini mengemuka setelah muncul berbagai aksi anarkistis yang dimotori oleh ormas radikal, terutama di Jakarta. Aksi penyerangan terhadap Jemaat Ahmadiyah di beberapa daerah, intimidasi terha dap kelompok yang mendukung Rancangan Undang-Undang (RUU) Pornografi dan Pornoaksi, pengusiran Inul Daratista dari Jakarta, dan aksi-aksi lainnya merupakan contoh kasus betapa perbedaan pendapat disikapi dengan kekerasan. Padahal, ormas radikal melakukan aksi anarkistis berdasarkan pada landasan normatif keagamaan. Justifikasi teologis untuk memperjuangkan aksinya bersandar pada perjuangan untuk menegakkan agama Allah.

Lantas mengapa perjuangan suci atas nama agama harus dikotori dengan aksi kekerasan. Bukankah, agama tidak memperbolehkan umatnya untuk melakukan kekerasan. Agama justru mendorong umatnya untuk menciptakan perdamaian dengan sikap- sikap yang toleran dan terbuka. Tidak ada satu agama pun yang menoleransi tindakan kekerasan. Di mana pun agama selalu menebarkan kasih sayang dan cinta kasih demi mewujudkan kehidupan masyarakat yang bersahaja, tanpa prasangka dan konflik.

Agama yang terlembaga
Aksi anarkistis yang dilakukan ormas agama yang radikal sesungguhnya didasarkan pada dua faktor. Pertama, cara pandang eksklusif yang digunakan untuk melihat orang lain (the others). Dengan cara pandang ini, mereka cenderung tertutup untuk menerima perbedaan, terutama dalam aspek teologi. Paham eksklusif tidak mau menerima secara penuh kebenaran lain, karena dianggap melanggar akidah Islam. Paham eksklusif ini didasarkan pada penafsiran secara literal dan skriptural. Artinya, agama ditafsirkan secara apa adanya sesuai dengan bunyi teks. Disebutkan oleh Raimundo Panikkar (1994), “Kalau suatu pernyataan dinyatakan benar, pernyataan lain yang berlawanan tidak bisa benar.”

Kedua, dalam konteks sosial, pemahaman agama tidak bisa berdiri sendiri yang lahir dari pembacaan terhadap teks-teks agama. Faktor sosial, lingkungan, pendidikan, dan politik ikut andil dalam memengaruhi pemahaman keagamaan mereka. Sehingga moderat atau radikal pemahaman seseorang tidak sekadar dipengaruhi oleh doktrin ajaran agama, melainkan dipengaruhi oleh berbagai faktor yang pada gilirannya akan melahirkan sikap dan perilaku sosial.

Dua faktor penting ini kemudian dibungkus dalam agama yang sudah menjadi lembaga, yang dalam teori sosial disebut institutionalized religion dalam bentuk organisasi keagamaan. Sehingga militansi dan fanatisme selalu dirujuk pada bagaimana pengikut organisasi mengikuti kebenaran yang telah dirumuskan oleh suatu organisasi agama. Kebenaran kemudian menjadi milik suatu organisasi agama yang dianut oleh anggotanya. Tak mengherankan jika beberapa waktu lalu terjadi benturan antar pendukung seorang tokoh atau pengikut ormas. Tampaknya aksi anarkistis yang biasanya dilakukan oleh sejumlah ormas radikal berusaha dilawan oleh kelompok lain untuk memberikan titik keseimbangan agar aksi anarkistis atas nama agama tidak terus-menerus menjadi alat intimidasi terhadap kelompok lain yang berbeda pendapat.

Semuanya ini adalah bagian dari benturan antar kaum militan terhadap ‘agama yang telah terlembaga’ (institutionalized religion) bukan agama itu sendiri. Mereka sedang berjuang atas nama agama, tetapi nyatanya adalah berjuang atas lembaga agama.

Selama ini orang tidak sadar bahwa militansi terhadap ‘agama yang telah terlembaga’ (institutionalized religion) lebih besar ketimbang agamanya itu sendiri. Meskipun terkesan seseorang berjuang untuk menegakkan agama, tetapi yang dapat kita lihat adalah ia berjuang untuk ‘agama yang telah terlembaga’ (institutionalized religion).

Karena itulah, kelompok-kelompok agama banyak bermunculan dengan visi dan misi yang berbeda-beda. Sejak Indonesia belum merdeka, ada barisan Sarekat Islam, Muhammadiyah, Persis, Nahdlatul Ulama, dan kelompok lainnya yang memiliki militansi dan fanatismenya sendiri-sendiri. Nah, sekarang ini kelompok Islam pendahulu (barisan Sarekat Islam, Muhammadiyah, Persis, Nahdlatul Ulama), sudah mendapat pesaing baru dengan maraknya ormas-ormas keagamaan yang lahir belakangan ini.

Bukti bahwa semua kelompok itu tidak sedang berjuang untuk agama, melainkan berjuang untuk ‘agama yang telah terlembaga’ adalah bahwa dalam sejarahnya mereka tidak pernah dapat disatukan dalam satu wadah. Mereka berjuang atas nama ego kelompoknya masing-masing. Sejarah telah membuktikan kelompok-kelompok Islam tidak pernah dapat disatukan dalam satu wadah partai politik. Lahirnya Masyumi sebagai satu-satunya partai Islam tidak bertahan lama; satu demi satu pendukungnya keluar: PSII keluar tahun 1949 dan NU keluar tahun 1952. Sekarang pun kelompok-ke lompok yang selalu mengatasnamakan berjuang demi agama tidak pernah bersatu. Buktinya mereka berjumlah banyak; ada FPI, MMI, HTI, dan lain-lain. Mereka hanya bisa bersatu dalam satu isu, yaitu kembalinya Piagam Jakarta dan pemberlakuan syariat Islam. Tentang bagaimana merealisasikan isu tersebut, mereka akan berpecah. Ada yang menginginkan Khilafah Islamiyah, negara Islam atau amar makruf nahi mungkar. Di dalam tubuh mereka pun akan tampak warna-warni.

Mempersempit radikalisme
Munculnya ormas-ormas keagamaan sesaat setelah demokrasi dibuka lebar-lebar telah menciptakan perubahan besar dalam kesadaran keagamaan masyarakat. Efek yang muncul adalah semakin bebasnya mereka melakukan aksinya untuk memperjuangkan apa yang mereka anggap sebagai ‘jalan agama’. Akibatnya, aksi kekerasan atas nama ‘agama yang terlembaga’ terus-menerus dilakukan dengan cara menyerang, mengusir, dan mengintimidasi. Karena itulah, pemerintah sebagai pemegang otoritas kekuasaan sudah seharusnya melakukan langkah strategis untuk mempersempit radikalisme agar tidak terjadi benturan yang keras. Jika tiap kelompok melakukan benturan atau konflik, konflik sosial akan semakin menemukan eskalasinya yang dibungkus atas nama agama.

Maka tepat yang dikemukakan Wakil Kepala Divisi Humas Mabes Polri Brigadir Jenderal Anton Bachrul Alam (26/5), bahwa salah satu ormas Islam dimungkinkan suatu saat untuk dibubarkan. Hal itu menyusul banyaknya keluhan masyarakat terhadap berbagai aksi mereka yang cenderung main hakim sendiri dan anarkistis. Inilah yang se mestinya dilakukan oleh aparat keamanan sebagai alat kelengkapan negara yang bertu gas untuk mewujudkan ketertiban dan keamanan masyarakat. Tidak beraninya aparat keamanan terhadap aksi anarkistis yang dilakukan ormas radikal, bahkan terkesan mengawal tindakan anarkistis, sudah harus dibuang jauh-jauh.

Demokrasi yang bercirikan toleransi terhadap perbedaan pendapat sekarang ini tidak boleh dikikis habis atas nama agama. Agama tidak boleh dimanipulasi untuk mengek sploitasi kekerasan demi mencurahkan sikap militansi dan fanatisme terhadap organi sasi yang diikutinya. Agama tidak mengajarkan kekerasan, tetapi umatnya sajalah yang menafsirkan agama untuk memperkukuh aksi kekerasan yang dilakukannya.

Sudah barang tentu, pembubaran terhadap kelompok-kelompok yang berbuat anarkistis adalah langkah strategis bagi terciptanya iklim penghormatan terhadap perbedaan yang pada gilirannya semakin memperkukuh bahwa Indonesia dengan Pancasila sebagai ideologi bangsa memberikan tempat bagi kemajemukan dan kebinekaan. Menghormati perbedaan merupakan penegakan harkat kemanusiaan yang paling asasi yang harus dijunjung bersama dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.

Indonesia sebagai negara yang majemuk tidak boleh dikotori oleh paham-paham penyeragaman yang membuat karakter dasar keindonesiaan menjadi lenyap digantikan oleh ideologi satu atas nama agama, golongan atau suku. Kita sebagai bangsa yang majemuk sudah seharusnya menjaga kemajemukan bangsa dalam bingkai perbedaan untuk kebersamaan dan perdamaian.***
(Media Indonesia 2006/6/15)
____________________

Munculnya Diktator Liberal

Fahmi Amhar (Dosen Pascasarjana Universitas Paramadina, Jakarta)

MUNCUL keheranan ketika membaca tulisan Saiful Mujani ‘Kelompok Islam Anarkis’ (Media Indonesia, 12/6). Tulisan itu jauh dari karya seorang peneliti yang mestinya teliti dan berimbang, tetapi lebih merupakan suatu bentuk propagative-provocation (provokasi yang terus disebarkan dan diulang-ulang) yang akhir-akhir ini gencar dilakukan teman-teman dari kalangan yang menamakan diri Islam Liberal. Meski salah, lama-kelamaan hal itu akan membentuk memori kolektif, dan akhirnya dianggap seolah-olah benar. Seperti kata Hitler, “Kebohongan seribu kali akan bisa menjadi kebenaran.”

Karena para penebarnya memiliki akses media, propaganda provokatif itu berlangsung masif. Namun kita cemas, alih-alih mencerahkan rakyat. Kelak mereka akan gigit jari, karena bisa terjadi sebaliknya, meminjam pepatah Arab: al-kadzdzab la yushaddiquhu wa lau kana shadiqan (para pembohong itu pada akhirnya omongannya tidak akan dianggap benar, sekalipun sesekali mereka benar).

Kita sadar, bahwa propaganda terkait dengan anarki kelompok Islam itu mempunyai tujuan akhir, pembubaran, pembekuan, atau pelarangan ormas-ormas yang dicap melakukan anarkistis. Propaganda ini sedang menciptakan atmosfer yang kondusif bagi lahirnya kebijakan negara. Atmosfer yang kondusif itu akan digunakan sebagai justifikasi (pembenaran). Karena setiap kebijakan harus ada justifikasinya, baik logis maupun tidak. Nah, inilah yang terus-menerus digalang sampai tujuannya tercapai. Sayang kalau hal itu dibangun di atas kebohongan publik –apalagi oleh orang-orang yang mungkin pantas disebut intelektual.

Kasus Purwakarta, yang diidentikkan dengan insiden pengusiran Gus Dur, sengaja diperalat untuk mengadu domba elemen-elemen Islam, meski pihak-pihak yang terlibat secara terbuka telah membantah adanya insiden itu. Sehari setelah kasus tersebut, Hizbut Tahrir Indonesia telah melakukan klarifikasi (25/5), diikuti pernyataan bersama MUI, sejumlah ormas dan kepolisian (26/5), bahkan pada akhirnya Gus Dur (27/5) yang intinya menyatakan bahwa kasus pengusiran itu tidak ada. Tetapi, tetap saja isu pengusiran dan anarkistis tersebut terus dihembuskan. Mobilisasi massa pun dilakukan atas nama pembelaan terhadap Gus Dur, bahkan disertai dengan tuntutan, dari sekadar minta maaf sampai pembubaran.

Bahkan, kemudian Pancasila dan NKRI dinyaringkan lagi, setelah sekian lama seperti ‘hilang’ dari wacana publik. Mereka tampil bak pahlawan kesiangan, atas nama Pancasila dan NKRI, menuduh lawan-lawannya sebagai anti-Pancasila dan membahayakan NKRI. Dengan mengulang-ulang propaganda itu, mereka terus memprovokasi penguasa untuk memberangus kebebasan lawan mereka.

Munculnya diktator liberal
Propaganda provokatif dengan kebohongan itu, diakui atau tidak, merupakan bentuk kekalahan intelektual para pejuang kebebasan. Mereka tidak bisa lagi berargumentasi secara logis dan sehat. Maka, bahasa ototlah yang mereka gunakan, pembubaran dan pembekuan, yang kesemuanya menggunakan tangan besi penguasa. Pelan-pelan mereka telah bermetamorfosis menjadi diktator liberal, diktator yang mengatasnamakan kebebasan.

Aneh, dalam mengusung freedom of speech (kebebasan berbicara), di satu sisi mereka sampai berani menghina Alquran, Nabi, kesucian agama, dan menolak syariah Islam, dengan tameng demokrasi dan kebebasan, tapi di sisi lain, ketika orang lain menyuarakan penerapan syariah Islam, dan bahkan membuat UU dan perda dengan mengambil sumber syariah Islam, langsung dituduh bertentangan dengan demokrasi, Pancasila, UUD 45, memecah belah NKRI, dan tuduhan yang terkesan asal-asalan lainnya.

Sejujurnya, mana pasal atau ayat UU di negeri ini yang tegas menolak penerapan syariah Islam? Tidak ada. Mana pasal atau ayat UUD 45 yang tegas menolak penerapan syariah Islam? Tidak ada. Mana sila-sila Pancasila yang tegas menolak penerapan syariah Islam? Tidak ada. Jadi kalau tidak ada, untuk apa ‘ngotot’ seraya membohongi publik, dengan mengatakan bahwa penerapan syariah Islam jelas bertentangan dengan Pancasila, UUD 45, UU dan seterusnya. Apakah ini sikap yang intelektual?

Karena itu jangan tuduh orang lain yang menyuarakan aspirasinya untuk menerapkan syariah Islam dengan tuduhan melanggar hukum. Bukankah, UU dan perda-perda syariah itu lahir dari proses demokrasi? Ataukah demokrasi itu hanya untuk kepentingan kapitalis belaka, dan bukan untuk yang merindukan Islam? Kalau memang demikian, jangan klaim bahwa demokrasi itu kompatibel dengan Islam. Dan, jangan salahkan, kalau orang Islam meyakini demokrasi itu hanya alat penjajahan, bertentangan dengan Islam, dan justru untuk memberangus kemuliaan Islam.

Maka, kalau atas nama demokrasi kebebasan menyampaikan aspirasi, berekspresi, dan berserikat dibenarkan UU, keliru kalau kemudian ketika HTI, MMI, FPI, atau PKS menyampaikan aspirasi dan mewacanakan sistem alternatif, baik ekonomi, sosial, pemerintahan, pendidikan, politik dalam dan luar negeri yang berbasis syariah, sebagai wacana publik, kemudian disebut melanggar konstitusi. Konstitusi yang mana?

Kalau logika itu dipakai, tak perlu lagi ada jurusan syariah, madrasah, dan pesantren yang mengajarkan syariah, karena wacana syariah, sebagai wacana alternatif, dianggap melanggar konstitusi. Bedanya, HTI, MMI, FPI, dan PKS mewacanakan syariah secara terbuka di ruang publik, melalui khotbah, buletin, majalah, koran, radio, televisi, dan internet, sedangkan jurusan syariah, madrasah, dan pesantren mewacanakannya di ruang-ruang kelas, dan sifatnya terbatas. Itu saja.

Ataukah propaganda ini memang untuk membendung islamisasi, yang sering kali disebut talibanisasi, arabisasi, dan sebagainya itu?

Tuduhan bahwa HTI dengan konsep khilafahnya akan menghancurkan NKRI itu juga terlalu mengada-ada. Kalau mau jujur, siapa yang mengingatkan rakyat negeri ini ketika Timor Timur akan merdeka? Siapa yang mengingatkan potensi lepasnya Aceh dan Papua saat ditandatanganinya Perjanjian Helsinki? Siapa yang mengingatkan bahaya masuknya militer asing dengan kedok bantuan kemanusiaan di Aceh dan menyerahkan urusan Aceh kepada pihak asing, melalui AMM? Siapa yang memprotes lepasnya Blok Cepu ke tangan Exxon-Mobil, memprotes UU Sumber Daya Air, yang menyebabkan rakyat negeri ini tidak lagi memiliki tanah-air?

Kita harus akui, bahwa saat itu, HTI membuktikan diri kesetiaannya pada negeri ini dengan menyebar puluhan ribu booklet tentang hal itu serta menggalang aksi damai di Jakarta dan beberapa kota, tanpa perlu sok Pancasilais, demokrat, dan seterusnya.

Sayang, mereka yang mengklaim sebagai pejuang demokrasi, HAM, liberal, Pancasilais, konstitusional, justru berdiam diri dengan penjualan aset negara kepada asing, membiarkan martabat diinjak-injak dengan menerima donasi dari negara-negara penjajah, dan tidak menunjukkan dukacita sedikit pun saat ekonomi kita hancur, budaya kita tergadai, dan peradaban kita tenggelam dari kancah dunia.
(Media Indonesia 2006/6/15)

6 thoughts on “Polemik Islam Liberal versus “Islam Radikal”

  1. Abdul Aziz

    Assalamu’alaikum wr. wb.
    Lama sekali saya tidak ke “perpustakaan” Kang Moeflich ini. Saya merasa semakin bodoh, terakhir saya membaca tulisan Akang tentang Alm KH Shiddieq Amien di PR.

    Tulisan-tulisan di atas sangat menarik, walau banyak yang membosankan, terutama tulisan Saiful Mujani. Orang -orang NU juga sering menutup-nutupi tindakan anarkistis orang-orang NU terutama ketika Abdurahman Wahid yang sedang di istana di goyang.

    Banyak orang yang heran, bukan Fahmi Amhar saja. Dan kebohongan itu terus berlangsung sampai sekarang.

    Terima kasih banyak Kang. Mohon izin mengcopy artikel di atas.

    Wassalamu’alaikum wr.wb.

  2. janola

    dunia ini memang panggung sandiwara, setelah saya cemati pendapat tuan2 ini sangat berkesan. jangan lah kamu memaksakan kehendak, jangan mengkalalkan perbuatan anarkis atas nama agama. perbuat lah hal yg baik,jadipanutan dan jadi berkat buat umat tapi jangan hanya buat klompok mu aja. orang pasti mengikuti mu sendirinya,gak perlu kamu harus bikin bom atau jadi propokator. klo anda ini membuat senuah kekacuan atas nama agama terkutuk lah kamu selamanya. karna saya yakin apapun yg kita ingini tanpa seizin yg MAHAKUASA takan pernah nterjadi,orang yg melakukan kejahatan atas nama tuhan dia akan menerima hukuman yg seimpal,berdamai lah dengan dirikita sendiri kehidupan akan lebi baik

  3. abbaz

    menjadi muslim yang fanatik itu wajib hukumnya. Pun dalam semua hal, kalau tidak ada fanatisme niscaya tidak jalan apa itu yg nemanya kelompok baik itu partai atau hanya skedar klompok nongkrong. Adapun radikal, menurut saya sie itu tuduhan orang-orang yg asal2an dalam beragama kepada org yg berusaha semaksimal mungkin melaksanakannya, tentu bukan dalam masalah bom-boman. Ketahuilah, yg menyebut islam liberal itu adalah org munafik insyaallah. Semoga mereka insyaf dengan rajin ikut pengajian

  4. Zuhairi Misrawi, Bila menurut saya mengenai permasalahan AHMADIYAH sangat anarkis dengan ummat islam, sepatutnya Ahmadiyah di hancurkan karena telah memalsukan kitab ummat islam seluruh dunia, Kalau AHMADIYAH tidak mencatut AGAMA islam tentu ummat islam tdk kan marah, Ahmadiyah sengaja menghina Nabi Muahammad saw serta ummat islam pada umumnya. kebebasan beragama tdk ada di jamin oleh uud 45, namon yg tdk boleh oleh uud itu sendiri, menyebarkan agama pada orng yg sudah beragama, bila pindah agama lain tidak ada unsur tekanan /iming silahkan, tapi agama apapon tdk boleh memaksa kan agamanya pada orang lain, ingat itu.

  5. Zuhairi Misrawi, Bila menurut saya mengenai permasalahan AHMADIYAH sangat anarkis dengan ummat islam, sepatutnya Ahmadiyah di hancurkan karena telah memalsukan kitab ummat islam seluruh dunia, Kalau AHMADIYAH tidak mencatut AGAMA islam tentu ummat islam tdk kan marah, Ahmadiyah sengaja menghina Nabi Muahammad saw serta ummat islam pada umumnya. kebebasan beragama tdk ada di jamin oleh uud 45, namon yg tdk boleh oleh uud itu sendiri, menyebarkan agama pada orng yg sudah beragama, bila pindah agama lain tidak ada unsur tekanan /iming silahkan, tapi agama apapon tdk boleh memaksa kan agamanya pada orang lain, ingat itu.

Leave a comment