Braindrain Indonesia (2)

Kafil Yamin

a

ADA dua bangsa di Asia yang berdaya saing tinggi dalam perdagangan dan ilmu pengetahuan dunia: Cina dan India. Anda yang sering bepergian ke berbagai kota di dunia, akan sering berjumpa dengan orang Cina atau India yang membuka usaha. Entah itu membuka toko, restoran, atau memproduksi barang-barang tertentu. Nyaris tidak ada kota besar dunia yang tidak ada Pecinan-nya.

Setiap orang Cina seperti dianugrahi kemampuan berdagang, melebihi bangsa-bangsa lain. Peran mereka tak bisa dilepaskan dari ekonomi dunia. Produksinya boleh kendaran mewah buatan Jerman; boleh mobil populer buatan Jepang, boleh komputer canggih buatan Amerika, tapi yang menjualnya orang Cina! Dan mereka seperti ada di mana-mana.

Di dalam negeri, hampir tak ada kota, kota kecil kecamatan sekalipun, yang tidak ada orang Cinanya. Bahkan kehadiran orang Cina di suatu tempat di Indonesia seperti sudah menjadi parameter ekonomi: dimana ada orang Cina berusaha, di situ perniagaan tumbuh. Mereka pun menguasai hampir semua jalur perdagangan, dari tingkat bawah sampai tingkat paling atas. Di negeri kita, pedagang eceran kelontong sampai ekspotir kelas kakap banyak orang Cina.

Sejak lama, orang Cina adalah perantau yang ulet dan tangguh. Banyak orang Cina yang berhasil membangun bisnis besar di rantau orang setelah keluar dari ‘tanah leluhur. Lagi pula, alasan utama migrasi orang-orang Cina keluar tanah daratan [mainland] adalah tekanan ekonomi dalam negeri, sebagiannya lagi karena konflik politik dalam negeri – seperti zaman revolusi kebudayaan atau pergantian dinasti pada masa Cina kuno.

Ini di luar orang Cina keturunan, yang lahir, tumbuh dan berhasil di tanah kelahirannya di Indonesia atau negeri-negeri lain.

Orang India kurang lebih sama. Banyak orang India yang jadi pengusaha besar di rantau karena keuletan, kejelian, dan kengototannya. Sampai-sampai ada konotasi agak tak enak tetang ‘kejelian’ orang India, yakni pelit. Sangat pelit. Benarkah?

Pembahasan dua bangsa besar di Asia ini tentu tidak mengabaikan bangsa-bangsa Asia lain yang tak kurang ulet, tangguh dan jelinya, seperti bangsa Jepang dan Korea. Namun bila dikhususkan sifat-sifat itu ke bidang perdagangan, Cina dan India lebih unggul. Bila dikhususkan dalam teknologi, maka Jepang dan Korea mungkin lebih atas.

Untuk kepentingan tulisan ini, saya memilih bidang perdagangan dan ekonomi saja. Karena itu yang jadi bahasan di sini adalah bangsa Cina dan India. Kedua bangsa ini sama-sama ulet; sama-sama jeli; sama-sama perantau kelas dunia.

Namun ada perbedaan yang menarik antar keduanya, yakni keterikatan kepada tanah atau negeri asal. Orang Cina tetap terhubung  kuat dengan negara asal. Orang India tidak. Orang Cina, kita tahu, keluar dari Cina daratan karena tekanan ekonomi. Maklum dengan penduduk 1,4 miliar, tak mudah bagi pemerintah Cina untuk menyejahterakan rakyatnya.

Nah, ketika di rantau, dalam keadaan sukses atau tidak, keterikatan orang Cina kepada tanah leluhurnya tidak putus. Tetap terpelihara. Bila si perantau tak begitu berhasil, sedikitnya mereka memelihara hubungan kekerabatan dengan sanak-saudara, handai taulan, di negeri asal. Bila si perantau ternyata berhasil, ia akan lebih sering pulang ke negeri asal, memperkuat hubungan kekerabatan, dan – ini yang penting – menginvestasikan kekayaannya di tanah leluhur!

Sebut saja satu taipan Indonesia yang tidak punya usaha di Cina. Tidak ada. Semuanya, Tomy Winata [Oe Suat Hong ], Mochtar Ryadi [li Moe Tie], Prayogo Pangestu [Phang Djun Phen], Eka Tjipta Wijaya [Oei Ek Tjhong], Ciputra [Lim Tek Siong] punya usaha di Hong Kong atau Cina Daratan. Mereka pun mendirikan yayasan kedermawanan, dan sebagian besar dari dana kedermawanan itu disumbangkan ke kerabat-kerabatnya di tanah leluhur.

Padahal, tidak semua mereka benar-benar berasal dari Cina daratan. Banyak yang sekedar keturunan dan lahir tumbuh di Indonesia, seperti Tommy Winata yang lahir di Pontianak; Eka Tjipta yang lahir di Makassar,  atau Ciputra yang lahir Parigi, Sulteng.

Karena itu, semakin banyak orang Cina keluar dari negerinya, semakin maju pula negeri leluhur, karena investasi berdatangan. Lagi pula, ini tidak bisa dibilang investasi asing karena berasal dari anak bangsanya sendiri. Dengan demikian investasi mereka lebih ‘jujur’ – beda dengan invesasi asing beneran yang cuma mengambil untung, mengakali pajak, dan menguras sumberdaya setempat.

Para perantau India, sementara itu, banyak yang berhasil di rantau sebagai usahawan, niagawan, bahkan ilmuwan. Namun orang India tak merasa terikat kuat dengan tanah India. Mereka yang sukses di rantau biasanya tidak kembali. Bahkan malah memboyong anggota keluarganya ke tempat dia. Orang India yang berhasil di rantau tidak menanam modal di India. Mereka memilih berkembang di rantau sampai ajal tiba.

Yang perlu dicatat juga adalah bahwa India dianugrahi orang-orang cerdas. Ada yang menjuluki orang India sebagai ‘yahudi’-nya Asia karena kecerdasannya. Ahli-ahli nuklir dan kimia di Amerika serikat didominasi orang India. Penulis-penulis handal kelas dunia, filosof, pakar berbagai bidang, banyak berkebangsaan India. Mereka menjadi cemerlang setelah keluar dari India. Dugaan umum adalah karena fasilitas dan kesempatan di dalam negeri untuk mereka tidak memadai.

Karena itu, India adalah salah satu negara yang mengalami braindrain, yakni perpindahan masif orang-orang cerdas ke luar negeri. Bisa terjadi demikian karena dunia mengakui kecerdasan mereka. Banyak lembaga-lembaga keilmuan di Amerika Serikat, Eropa memerlukan kepakaran orang India.

Di rantau, dengan karir cemerlang, mereka meilih tinggal selamanya. Sementara negeri India kekurangan orang-orang pintar. Inilah salah satu alasan, mengapa ekonomi India terhitung mandek dibanding Cina yang melesat cepat melewati negara-negara lain di dunia, bahkan Eropa dan Amerika.

***

DIBANDING kedua bangsa itu, bangsa Indonesia masih terhitung bayi. Namun suatu kebetulan sekaligus anugrah bahwa bangsa Indonesia, langsung atau tidak langsung, adalah keturunan kedua bangsa besar itu. Orang-orang India sudah bermigrasi ke Nusantara sejak ratusan tahun sebelum masehi. Merekalah yang membawa agama dan kebudayaan Hindu dan Budha ke sini; membawa bahasa Sanskrit. Merekalah yang membangun candi-candi. Hasil perkawinan mereka dengan orang pribumi menurunkan raja-raja beserta kerajaannya yang bercorak India.

Bangsa Indonesia pun mengandung gen bangsa Cina. Maaf, mungkin masih ada yang mempertahankan rasa kebencian kepada orang-orang Cina dan keturunan karena beberapa alasan politik, sosial dan ekonomi. Tapi orang-orang yang berperasaan ini tidak bisa menyangkal fakta sejarah bahwa bangsa Cina bersumbangsih besar kepada bangsa Indonesia – sampai hari ini. Dilihat dari tampilan fisik saja, orang akan langsung menduga bahwa orang-orang Dayak Kalimantan, orang-orang Manado, Padang, dan sebagian orang Jawa, bernenek-moyang orang Cina. Demikian pula rumpun yang disebut ‘Melayu’.

Bangsa India dan Cina adalah nenek moyang bangsa Indonesia. Itu fakta.

***

INDONESIA hari ini mengalami kejadian yang menimpa bangsa India, yakni ‘pelarian’ putra-putranya yang cerdas ke luar negeri, seperti yang terungkap dalam catatan saya sebelumnya. Indonesia mengalami braindrain.  Suatu kerugian besar. Jauh lebih besar dari bencana fisik.

Tak mudah menangkal dan menghentikan gejala ini. Tapi tak terlalu sulit juga. Bila ada kenyamanan di dalam negeri, ngapain repot-repot hidup di negeri orang? Begitu ungkapan sederhanya. Bila disederhanakan pula, langkah terpenting menangkal braindrain adalah dengan membangun infrastruktur dan peluang yang bagus bagi putra-putra bangsa yang berprestasi.

Sayang sekali, bangsa Indonesia baru berada pada tahap membangunan kenyamanan dan peluang bagi para politisi kotor, bandit, dan para pembual.

Lebih menyedihkan, Indonesia bukan hanya mengalami braindrain, tapi juga handdrain [yang terakhir ini istilah bikinan saya], yakni pelarian para tenaga kasar, termasuk TKW, keluar negeri.

Jadi, orang-orang pintar pada kabur, para pekerja gigih minggat.[]

One thought on “Braindrain Indonesia (2)

Leave a comment