Puasa Umat Islam

Oleh Franz Magnis Suseno, SJ

 

BAGI banyak umat non-Muslim yang hidup di tengah-tengah umat Islam, Ramadhan mengesankan sekaligus mendebarkan. Mengesankan karena Ramadhan membawa kelimpahan kebaikan, kesucian, dan kesalehan. Umat Islam gembira membersihkan hati. Mendebarkan karena setiap kali ada berita tentang perusakan atau ancaman –semisal dari Aceh atau Makasar– umat non-Muslim deg-degan, jangan-jangan pembersihan diri melebar menjadi pembersihan terhadap orang lain.

Namun, apakah kekhawatiran itu perlu? Selama lebih dari 50 masa puasa yang saya alami di Indonesia, tak pernah terjadi ketegangan yang meningkat. Sebaliknya, ada begitu banyak pengalaman positif. Pernah saya terbang ke Medan di masa puasa. Di samping saya duduk seorang ulama Muslim berpakaian putih-putih (ternyata dia tokoh MUI Medan). Saya minta izin, makanan yang ditawarkan di pesawat nanti mau saya makan. Dia menjelaskan tentang sembilan macam orang yang menurut Islam tidak wajib puasa, misalnya para musafir. Saya terharu, dia kok bisa membuat saya merasa rileks makan di masa puasa.

Pernah saat bersama anak-anak HMI, juga di masa puasa, pada jam dua siang saya disuguhi makanan kecil dan minuman. “Silakan Romo makan, tidak apa-apa,” kata mereka (namun waktu itu saya tetap “puasa”).

Terasa pancaran kekuatan batin hasil puasa dalam diri orang Islam, yang juga dialami penganut agama lain yang mengenal puasa. Bahwa dengan melawan hawa nafsu kita menjadi bebas untuk membuka diri terhadap Tuhan. Puasa lantas bukan sebuah prestasi untuk dibanggakan, melainkan sinyal rendah hati kepada Tuhan.

Bagi umat Islam, masa puasa menuju pemaafan. Tak ada yang lebih membersihkan hati dari segala sisa kejahatan daripada kesediaan untuk memaafkan. Pemaafan membebaskan hati dari segala kebengkokan. Saya pun ikut mohon maaf lahir batin kepada saudara-saudari Muslim. (Kompas, 25/08/2011)

FRANZ MAGNIS SUSENO SJ, Rohaniawan Katolik dan Guru Besar di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara

Leave a comment