Pornografi: Cermin dari “Negara Sekuler”

Oleh Moeflich Hasbullah
(Pikiran Rakyat, 4 Februari 2006)

a

Di tengah-tengah proses kebangkrutan moral yang kini terus-menerus melanda publik Indonesia, rencana pemberlakuan UU Anti Pornografi dan Pornoaski (UU APP) masih diiringi perdebatan. Kaum akademisi dan cendikiawan meributkan masalah istilah, konsep dan definisi “pornografi,” kaum feminis mempersoalkan agar pornografi tidak hanya dialamatkan kepada perempuan saja tetapi juga laki-laki, dan kubu “liberal” mengusung kebebasan ekspresi kaum perempuan sebagai hak azasi otonomi tubuh. Di awal-awal pemberlakuan Di Amerika Serikat, UU pornografi sering mengalami kesulitan disebabkan perbedaan persepsi antara hakim, juri, pengacara dan publik tentang pengertian cabul dan porno. Namun demikian, obscenity and pornography (cabul dan pornografi) secara umum didefinisikan sebagai istilah untuk menentukan tulisan, rekaman atau gambar, termasuk gambar bergerak, dimana masyarakat menganggap sebagai cabul dan mempengaruhi orang. Karena UU Anti Pornografi untuk mengatur masyarakat, jadi ukurannya adalah “pandangan masyarakat” dan “pengaruhnya pada orang,” bukan pandangan individu. Pengertian obscenity sendiri adalah istilah yang mengacu pada bahasa atau perilaku yang diyakini merusak moral publik, sedangkan pornography lebih diarahkan pada bahan-bahan cetakan dan gambar dimaksudkan untuk menumbuhkan stimulasi seksual seseorang.

Tetapi intinya, sama dengan saat kelahiran UU Anti-cabul (Anti-obscenity) di Amerika, masyarakat Indonesia pun terbagi ke dalam dua kubu. Kubu pertama meyakini pornografi menyumbangkan peran terhadap kebangkrutan moral masyarakat, dan kubu kedua, UU Pornografi bertentangan dengan kebebasan berekspresi (freedom of expression) masyarakat, terutama kaum wanita, seperti diungkapkan oleh Gadis Arivia, Dosen Filsafat Universitas Indonesia (PR, 9/1). Tentang munculnya gagasan UU Pornografi ini, bangsa Indonesia yang dikenal “relijius” jauh ketinggalan dibanding Amerika Serikat yang diklaim “sekuler.” Dalam beberapa hal, bukan hanya ketinggalan, Amerika jauh lebih serius, lebih tegas dan lebih keras dalam memerangi pornografi. Sebagai cermin atas kontroversi di Indonesia, sejarah penanganan pornografi di Amerika Serikat mungkin bisa menjadi pelajaran.

Di negara Paman Sam itu, gagasan memberlakukan UU Pornografi sudah muncul sejak abad ke-19. Kongres Amerika untuk pertama kalinya meloloskan UU untuk memerangi tindakan cabul sebagai bagian dari Tariff Act tahun 1842. Undang-undang ini menyatakan perilaku “tidak senonoh dan cabul” (indecent and obscenity) sebagai perbuatan ilegal. Setelah itu kemudian lahir Comstock Law tahun 1873 yang melarang korespondensi yang menyertakan hal-hal yang berbau cabul atau sensual. Hukum ini dimaksudkan untuk menjerat dan mengganjar para pengedar pornografi ke pengadilan, juga untuk menyiapkan sistem sensor bagi para pejabat kantor pos, tanpa harus kepengadilan. Jika para petugas kantor pos menemukan barang-barang seperti buku, gambar dan surat lain yang berbau cabul atau porno, mereka akan menahannya dan tidak mengirimkannya. Kantor Pos Amerika sudah menjalankan Comstok Law ini kurang lebih selama 93 tahun.

Tahun 1957, Mahkamah Agung Amerika mengeluarkan peraturan bahwa kebebasan pers –sebagaimana dijamin UU– tidak termasuk hal-hal yang bernuansa cabul dan porno, meskipun tidak memberikan uraian rinci tentang pengertian cabul dan porno itu. Tahun 1970, berdasarkan laporan tidak ditemukannya bukti-bukti bahwa pornografi telah memicu kejahatan orang dewasa atau pelanggaran diantara anak-anak muda, Komisi Nasional tentang Perilaku Cabul dan Pornografi kemudian merekomendasikan agar pemerintah AS mengganti seluruh perangkat hukum yang melarang penjualan pornografi. Tetapi UU itu juga merekomendasikan agar setiap negara bagian tetap melarang penjualan gambar cabul kepada anak-anak muda.

Tahun 1973, untuk mengatasi kontroversi istilah yang masih terjadi di masyarakat, Mahkamah Agung kemudian membuat rumusan untuk menentukan sesuatu bisa disebut cabul atau tidak. Menurut rumusan MA itu, sesuatu dianggap cabul bila mengandung unsur-sunsur sebagai berikut: (1) jika produk (printed materials atau bukan) dibuat untuk stimulasi seksual atau kepentingan nafsu birahi, (2) jika produk itu mengekspos gambar-gambar porno secara jelas, vulgar dan terbuka, terutama yang dianggap cabul menurut definisi hukum, (3) jika gambar-gambar porno itu tidak mengandung nuansa seni, sastra, politik atau kepentingan ilmu pengetahuan. MA kemudian memerintahkan agar menggunakan definisi ini sebagai “hukum anti pornoaksi” (anti-obscenitiy laws) di masing-masing negara bagian untuk menyatakan sesuatu disebut cabul/porno atau tidak demi penegakkan hukum.

Pada tahun 1982, Mahkamah Agung kemudian mengeluarkan New York Law yang melarang dengan tegas penggunaan anak-anak dalam pornografi dan penjualan bahan-bahan porno yang melibatkan anak-anak. Tahun 1986, Komisi Pornografi Jaksa Agung, kelompok yang bergerak khusus dalam riset tentang pornografi, mendesak pelaksanaan UU lebih keras lagi untuk pengaturan barang-barang cabul dan porno. Lembaga ini juga menyerukan kontrol ketat atas program TV kabel dan bisnis barang-barang seputar “adult only,” dan mendesak hukuman penjara lebih lama bagi para pelanggar UU Anti Pornografi ini terutama yang mengeksploitasi anak-anak.

Banyak negara “sekuler” sudah menerapkan UU APP ini sejak lama seperti Amerika, Kanada, Itali dan Irlandia. Sampai tahun 1997, beberapa negara lain seperti Denmark, Inggris dan Israel pernah berusaha mencabut UU itu, tetapi tetap saja dihadapkan pada masalah dilematis: memimpikan kebebasan tetapi dengan resiko kebangkrutan moral publik. Karena tidak mungkin dihapuskan, maka pengaturan secara ketat dan penegakkan hukum secara tegas adalah solusinya. Kuatnya komitmen penegakan aturan tentang pornografi di berbagai negara menunjukkan bahwa pornografi sudah menjadi common enemy dan terdapatnya common sense universal bahwa pornografi dan pornoaksi berperan terhadap kebangkrutan moral masyarakat, selain kebangkrutan moral itu diciptakan oleh faktor-faktor lain seperti korupsi, penyelewengan kekuasaan, perjudian, obat-obat terlarang dan yang lainnya.

Adalah fakta yang sudah menjadi konklusi publik bahwa di Indonesia, kebebasan pers, media porno dan tayangan-tayangan cabul dalam televisi termasuk acara-acara yang mempertontonkan kekerasan seksual sangat liberal melebihi negara-negara maju. Liberalitas ini karena tiadanya pengaturan hukum: acara-acara dewasa di televisi dipertontonkan dalam prime time yang ditonton anak-anak, barang cetakan cabul dan porno bisa dibeli dimana saja dan oleh siapa saja, goyang pinggul yang vulgar dan mengumbar nafsu birahi diidolakan sebagai hak azasi, hak tubuh yang otonom, kebebasan perempuan dan media karir. Tetapi, masih ada harapan karena basis liberalitas di Indonesia bukan anutan faham pemikiran melainkan efek negatif dari impotensi hukum. Impotensi hukum menyebabkan masyarakat menjadi permisif, menjadi masyarakat yang seolah tanpa kontrol, tanpa kendali, tanpa etika. Terbentuknya kultur permisif ditopang oleh ide-ide hak azasi sekuler dan impian kebebasan.

Indonesia sangat perlu segera menerapkan UU ini karena kita ketinggalan jauh. Apalagi bangsa ini memiliki ironi: dikenal relijius tetapi menempati jajaran papan atas dan ranking tertinggi dalam berbagai hal yang memalukan: korupsi, produksi dan penggunaan obat terlarang, lemahnya penegakkan hukum, angka kemiskinan, tingkat pengangguran, kesemrawutan lalu lintas, kasus perkosaan, jumlah korban AIDS/HIV dan lain-lain. Seperti di Amerika, pengaturan secara ketat dan penegakkan hukum yang tegas melalui UU Anti Pornografi dan Pornoaksi adalah satu langkah positif dalam usaha mengeliminir kebangkrutan moral bangsa. Dari negara “sekuler” kita bisa bercermin. Cermin sekuler itu ternyata bening dan tampaklah wajah kita yang bopeng dalam cermin itu. Setelah tahu bopeng mari kita haluskan bagian-bagian wajah kita yang kasar, kotor dan berdebu!!!

3 thoughts on “Pornografi: Cermin dari “Negara Sekuler”

  1. Pingback: Penerapan Peraturan/UU Pornografi di Negara Lain « Ganryukg’s Blog

  2. Mari kita dukung menkominfo untuk memblokir situs porno. Kemarin saja di China ada 5000 org ditangkap karena mengklik situs porno

  3. Irfan

    Pornografi bukan ajaran agama, itua adalah perbuatan oknum, umat islam banyak yang menjadi pemeran film porno dan pengunduh film porno justru adalah negara mayoritas islam, apa pula komentar and dengan ini,mayoritas atau mnoritas bukanlah ukuran, tapi yang pasti setiap tindakan pornograpi adalah dosa.

Leave a comment