Membangun Aliran Islam Sejati

Oleh Moeflich Hasbullah

a

0289.jpgKata Islam selalu disifatkan, selalu disandingkan dengan sebuah sifat tertentu. Misalnya, Islam tradisional, Islam modern, Islam moderat, Islam inklusif, Islam fundamentalis, Islam radikal, Islam tekstual, Islam substantif, Islam liberal dan seterusnya. Sifat-sifat ini ada yang ditempelkan sendiri karena disadari bersama oleh kelompok (Islam moderat, Islam inklusif, Islam liberal), dan ada yang dilabelkan pada sebuah kelompok tanpa kelompok tersebut memaksudkannya (Islam radikal, Islam fundamentalis, Islam tekstual). Ketika Islam ditempeli atau diikuti sifat-sifat tersebut, saat itu terjadilah distorsi. Islam menjadi menyempit, mensub, membagian, mengkotak, mengekslusif, tidak lagi menyeluruh atau kaffah. Sebagai Islam yang sudah menyempit, maka ‘Islam sifat’ (adjective Islam) selalu mengelompok, selalu merupakan ekspresi sebuah komunitas.

Dalam realitas sosial, penyifatan itu tak terhindarkan untuk memperjelas identitas dan posisi keislaman seseorang. Anda tidak cukup hanya mengatakan pada seseorang “saya Islam” atau “saya Muslim,” atau “saya tidak beraliran.” Selalu pengakuan itu akan diikuti oleh pertanyaan susulan, “aktif dimana?” atau, “kegiatannya apa?” atau, “kerja dimana?” Ketika kita memberikan jawaban saat itulah pensifatan Islam atas diri kita terbentuk. Misalnya, “saya aktif di PMII” (NU/tradisional), “saya di litbang Muhammadiyah” (Muhammadiyah), “saya sekjen FPI” (Islam radikal), “saya sedang menggarap agenda liberalisasi umat” (Islam liberal), “saya ketua bidang pembinaan umat Hizbut Tahrir” (Islam formalistik), “saya pembaca setia tulisan-tulisan Cak Nur” (Islam inklusif/pluralis). Labeling ini tidak selalu akurat tapi memberikan informasi tentang afiliasi. Kegiatan seseorang menujukkan afiliasinya pada sesuatu. “Aktif di PMII” pasti orang NU, tidak mungkin aktifis Muhammadiyah atau HMI. Sekjen FPI tidak mungkin orang luar FPI atau orang netral. “Menggarap agenda liberalisai umat,” tentu pendukung Islam liberal, dan pembaca setia pikiran Cak Nur tidak mungkin pendukung ide negara Islam, pasti pencinta pemikiran Islam inklusif-pluralis. Dalam realitas sosial tidak ada Islam murni, Islam tanpa kelompok, Islam Nabi Muhammad dst. Itu hanya fikiran dan keinginan kita. Ketika kita berkubang dalam realitas sosial maka kita akan ditempeli oleh identitas-identitas sosial yang ada, yang terbentuk atau dibentuk orang, sadar atau tidak sadar, menerima atau tidak. Labeling identitas ditunjukkan saat kita menyebutkan aktifitas, kerja atau komunitas tempat kita berekspresi.

Mana yang paling baik atau lebih benar diantara berbagai kelompok Islam sifat itu? Tidak ada. Posisi semuanya sama dan sejajar. Sebagai tafsir atau wacana semuanya adalah peripheral, distorsi. Sebagai kelompok semuanya adalah bagian, subsistem. Sebagai misi dan gerakan semuanya menyuarakan tafsirnya, kepentingannya dan kelompoknya. Sebagai perbedaan adalah konfigurasi, khazanah. Islam sifat ini memiliki wilayah dan peran habitatnya masing-masing yang menjadi karakternya: sebagian berkiprah di medan tafsir, wacana, pemikiran (Islam moderat, Islam inklusif, Islam pluralis, Islam liberal), walaupun tidak steril dari gerakan aksi fisik. Sebagian lain bergerak di medan aksi, lapangan, fisik, konkret (Islam radikal, Islam fundamentalis), kendati memiliki gerakan intelektual.

Berdasarkan kecenderungannya, semua Islam sifat ini bersebrangan satu sama lain dan berada di dua kutub ekstrim yang berbeda: Islam radikal, fundamentalis dan tekstual berhadapan dengan Islam moderat, inklusif dan liberal. Islam tradisional berhadapan dengan Islam modern (terutama dalam ranah politik). Tapi, dalam merespon aksi-aksi Islam fundamentalis dan radikal, Islam tradisional dan modern ini berada satu kubu dengan Islam moderat, inklusif dan liberal. Semua Islam sifat ini memainkan peran drama yang sama: membentuk sub, memerankan bagian, memiliki garis batas, memainkan karakter kelompok, menghadirkan distorsi.

Siapa yang berada di tengah-tengah atau memerankan diri sebagai pemersatu umat? Tidak ada dan tidak akan pernah ada. Yang ditengah-tengah tidak mungkin dari kalangan Islam sendiri karena akan terjangkit subyektifisme. Mereka yang berada di tengah-tengah berarti harus melakukan salah satu dari dua ini: melepaskan atau tidak memiliki Islam sifat, atau melakukan semuanya sebagai sebuah kesempurnaan. Jawabannya, tidak mungkin. Yang mungkin melakukan peran uniter hanya dua: nabi atau negara. Tapi nabi tidak akan pernah ada lagi dan negara (baca Indonesia sebagai sebuah negara sekuler) tidak berkepentingan dengan persatuan umat Islam (selama pengelompokkan tidak counter productive). Sebagai institusi sekuler, tugas negara adalah mengupayakan tegaknya hukum, keadilan sosial dan kesejahteraan rakyat bagi semua warga negara.

Bila peran uniter dari kalangan umat tidak mungkin karena unsur subyektifitas dan akan munculnya vested-interest, nabi tidak akan ada lagi dan negara tidak perlu diharapkan karena tidak berkepentingan dengan problem intern umat dan misi agama, lalu siapakah yang bisa menyatukan kelompok-kelompok dalam Islam atau mendamaikan Islam-islam sifat itu? Jawaban, sekali lagi, tidak ada. Tidak ada artinya tidak perlu ada. Tidak perlu ada artinya tidak perlu difikirkan. Tapi kan umat selalu digayuti gagasan dan cita-cita persatuan ini? Umat selalu dibayangi kehendak bersatu? Dari dulu, salah satu problem terpenting umat adalah absennya persatuan di kalangan umat Islam. Kalau ini tidak perlu, lalu apa yang harus dilakukan umat? Yang harus dilakukan umat adalah satu: membentuk Islam sifat yang baru, Islam yang paling benar yaitu Islam sejati.

Apa itu Islam sejati? Adakah Islam sejati? Ada. Islam sejati ini bukan distorsi, bukan kelompok, bukan organisasi. Islam sejati kebenarannya mutlak dan pasti menjadi solusi bagi problem umat dewasa ini dan selamanya sampai akhir zaman. Islam sejati bukanlah Islam kaffah, bukan Islam lengkap, bukan Islam satu tafsir, bukan Islam satu kelompok. Mengkhayalkan itu semua adalah mimpi. Islam sejati adalah something beyond community! Sesuatu diatas kelompok, diatas perbedaan, diatas keragaman. Inilah Islam sejati itu: Islam sikap mental. Yaitu sikap mental penerimaan atas perbedaan, penghargaan atas peran kelompok lain, kesadaran atas keragaman dan penghindaran atas klaim kebenaran sendiri. Islam sejati adalah sikap mental saling merelatifkan pikiran bahwa seyakin apapun kebenaran yang difahaminya hanyalah sebuah tafsir, hanyalah sebuah sisi, hanya sebuah sub. Islam sejati adalah sikap saling menghargai dengan tulus bahwa apa yang dilakukan kelompok lain ada konteksnya tersendiri yang harus difahami, ada kebenarannya yang tersembunyi yang tidak harus selalu berhasil dirasionalisasi. Islam sejati adalah sikap mental yang tidak ada hujatan dan kebencian. Islam sejati adalah tafsir terus menerus mencari kebenaran. Islam sejati adalah perlombaan terus-menerus dalam kebaikan (fastabiqul khairât), saling menasihati dalam kebaikan dan kesabaran (tawâshaubil haq wa tawâshaubil shabr). Islam sejati adalah semua individu Muslim, semua kelompok Islam, selama berhendak untuk menjadi Muslim sejati. Wallahu a’lam!![]

One thought on “Membangun Aliran Islam Sejati

  1. Jeffri

    Ide bagus banyak yang mau cuma belum ada wadahnya
    wadahnya harus tegas dan tidak menerima kelompok2 apapun
    hanya yang benar2 mau mendalami dan memahami alquran ,tidak ada ketua2 ,semua sama2 belajar memahami alquran dan tujuan diturunkannya agama
    saya yang pertama kali mendaftar

Leave a comment