Menjawab Misteri Kelangkaan Candi di Tatar Sunda

Moeflich Hasbullah

a

Salah satu pertanyaan penting dalam Sejarah Jawa Barat selama ini adalah “Mengapa di Tatar Sunda sangat langka ditemukan candi-candi peninggalan kerajaan-kerajaan masa lampau seperti halnya di Jawa Tengah dan Jawa Timur?” Paling tidak ada dua jawaban untuk pertanyaan ini. Pertama, argumen sosiologis-agrikultural. Mata pencaharian utama penduduk Priangan adalah ngahuma (berladang) kemudian bersawah. Hal ini dikenal sejak zaman kerajaan Sunda. Ciri masyarakat peladang adalah kebiasaan nomaden yaitu selalu berpindah tempat untuk mencari lahan yang subur. Kebiasaan ini berpengaruh pada tempat tinggal orang Sunda yang tidak memerlukan bangunan permanen yang kokoh. Kemungkinan besar itulah salah satu sebab mengapa di Priangan tidak banyak peninggalan berupa candi atau keraton seperti di Jawa Tengah (Lubis 1998: 26).

Kedua, argumen proses Islamisasi. Islamisasi di Sunda cenderung lebih intensif dibanding dengan di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Proses Islamisasi yang lebih intensif berpengaruh pada militansi beragama orang Sunda. Karena keislamannya yang kuat, masyarakat Sunda yang sudah masuk Islam diduga “menghancurkan” bangunan candi-candi sebagai peninggalan agama Hindu Budha dan tempat pemujaan yang bertentangan dengan keyakinan yang diajarkan Islam.

Hingga saat ini kedua asumsi tersebut belum didukung oleh bukti-bukti sejarah. Tulisan pendek ini akan menjawab pertanyaan tersebut melalui tiga argumen: monoteisme orang Sunda, tradisi egalitarian masyarakat dan realitas kekuasaan Sunda pra-Islam.

Monoteisme Orang Sunda
Dari berita sejarah yang ada dan dari hasil penelitian arkeologi terkini, kawasan Sunda adalah daerah yang pertama mendapat pengaruh Hindu dan Budha dari India. Aktifitas politik pemerintahan dengan rangkaian kegiatan birokratisnya telah berjalan sejak awal-awal abad masehi. Hal ini menunjukan bahwa orang-orang Sunda adalah orang pertama di Nusantara yang telah mengerti dan menggunakan mekanisme birokrasi dalam mengatur hubungan penguasa-rakyat dan dalam hubungan sosial antara masyarakatnya.

Pengaruh Hindu dan Budha yang datang dari India setelah mengalami proses sinkretisasi dengan agama lokal (animisme dan dinamisme) mulai diterima oleh kalangan elit politik kerajaan. Stratifikasi sosial yang kastaistis telah memberikan keuntungan-keuntungan tersendiri bagi para ningrat kerajaan, sementara masyarakat lapisan luar kerajaan masih menggunakan keyakinan lama yang menyembah hyang yang oleh Fa-Hien disebut sebagai “agama yang buruk” seperti tertuang dalam laporan berita Cina. Ungkapan “agama yang buruk” oleh Fa-Hien ini merupakan ungkapan yang biasa diucapkan oleh orang yang taat pada suatu agama terhadap orang yang beragama lain.

Dalam konsepsi teologis orang Sunda pra Hindu, hyang (sanghyang, sangiang) adalah Sang Pencipta (Sanghyang Keresa) dan Yang Esa (Batara Tunggal) yang menguasai segala macam kekuatan, kekuatan baik ataupun kekuatan jahat yang dapat mempengaruhi roh-roh halus yang sering menetap di hutan, di sungai, di pohon, di batu atau di tempat-tempat lainnya. Hyang mengusai seluruh roh-roh tersebut dan mengendalikan seluruh kekuatan alam. Pada masa masuknya pengaruh Hindu, konsep ke-esa-an hyang terpelihara karena semua dewa Hindu tunduk dan takluk pada hyang ini, kekuatannya dianggap melebihi dewa-dewa Hindu yang datang kemudian. Dengan kata lain, orang-orang Sunda pra Hindu-Budha sudah menganut faham monoteistis dimana hyang dihayati sebagai maha pencipta dan penguasa tunggal di alam. Konsepsi ini sesuai dengan apa yang diajarkan oleh Islam, yaitu Allah, ketika muncul proses Islamisasi di Nusantara. Istilah sembahyang pun lahir dari tradisi ritus menyembah Hyang (Yang Tunggal) sama dengan shalat menyembah Allah Yang Maha Esa dalam agama Islam.

Ketika pengaruh Hindu masuk ke masyarakat Sunda, ajaran Hindu mempengaruhi keyakinan lokal masyarakat yang sudah mapan. Kedua keyakinan teologis ini kemudian mengalami proses sinkretisasi. Ini tergambar dalam hirarki kepatuhan yang terdapat pada Naskah Siksakandang Karesian yang berisi Pasaprebakti (Sepuluh Tingkat Kesetiaan) yang isinya sebagai berikut : “Anak satia babakti ka bapa; pamajikan satia babakti ka salaki; kawala satia babakti ka dunungan; somah satia babakti ka wado; wado satia babakti ka mantri; mantri satia babakti kanu manganan (komandan); nu nanganan satia babakti ka mangkubumi; mangkubumi satia babakti ka raja; raja satia babakti ka dewata; dewata satia babakti ka hyang.” Konsep hyang merupakan konsep yang memang sudah hidup pada orang Sunda jauh sebelum adanya pengaruh Hindu dan Budha.

Tradisi sesembahan orang Sunda pra Hindu-Budha tidak terpusat di Candi tapi menyembah hyang di kahiyangan. Konsep kahiyangan sangat abstrak alias tidak menyebut tempat fisik dan bangunan. Kahiyangan merupakan tempat para dewa bersemayam mulai dari para dewa lokapala (pelindung dunia) sampai pwah sanghyang sri (dewi padi), pwah naga nagini (dewi bumi) dan pwah soma adi (dewi bulan) yang menghuni jungjunan bwana (puncak dunia). Tradisi orang Sunda menyembah hyang adalah salah alasan yang menjelaskan kelangkaan candi di tatar Sunda Priangan. Kuatnya kepercayaan Sunda lama terhadap hyang yang monoteistik tidak mendorong orang Sunda untuk membangun candi sebagai pusat peribadatan sebagai mana di Jawa Tengah dan Timur. Satu dua candi kecil yang ditemukan di Jawa Barat, ketimbang menunjukkan kuatnya pengaruh agama Hindu-Budha, tampaknya dibangun lebih sebagai simbol kekuasaan bahwa disitu pernah ada penguasa kecil, keturunan dari Kerajaan Sunda.

Tradisi Egaliter Orang Sunda
Pengaruh Hindu dan Budha datang ke pulau Jawa sekitar awal abad masehi dan daerah yang pertama bersentuhan dengannya adalah Jawa Barat dengan pusat pemerintahan yang diduga berada di sekitar Karawang dan Bekasi sekarang. Pengaruh kedua agama ini nampaknya kurang begitu kuat meresap pada masyarakat Sunda karena masyarakat Sunda sangat kuat dalam menganut keyakinan aslinya yang bercorak monoteistis yaitu mengabdi pada hyang tunggal.

Bukti kuat pernyataan ini adalah bahwa hingga saat ini bukti-bukti arkeologis yang mendukung kuatnya pengaruh Hindu-Budha sangat sedikit ditemukan di Jawa Barat. Jika di Jawa Tengah dan Jawa Timur banyak terdapat peninggalan bangunan dan monumen sakral yang bercorak Hindu dan Budha, ini disebabkan karena sosialisasi Hindu dan Budha yang sangat intensif, baik yang dilakukan oleh kalangan keraton maupun oleh para brahmana dan pedanda.

Cepatnya penyebaran agama Hindu dan Budha pada masyarakat Jawa Tengah dan Jawa Timur disebabkan karena konsep dan ajaran god-kings (dewa-raja) yang sesuai dengan alam berfikir masyarakat Jawa ketika itu. Bagi masyarakat Jawa, raja dihayati sebagai panutan mutlak karena dianggap sebagai wakil Tuhan di bumi. Gelar para raja adalah gabungan dari dua otoritas yaitu otoritas politik (raja) dan otoritas religius (dewa) yang tergabung dalam istilah-itilah seperti rajaresi, khalifatullah fil ‘ardhi sayidin panatagama dan lain-lain. Kepatuhan mutlak kepada raja inti ajaran Hindu juga bersumber dari klasifikasi sosial yang sangat ketat. Ini tergambar dari stratifikasi masyarakat Jawa yang feodalistik antara kelas ningrat atau priyayi dan wong cilik. Penghayatan raja sebagai titisan dewa dan adanya kelas sosial yang tajam ini berakibat pada tiadanya perbedaan pendapat antara raja dengan rakyatnya, termasuk dalam persoalan agama. Keraton dalam kebudayaan Jawa adalah pemegang otoritas kebenaran yang berfungsi sentral baik dalam agama, politik dan kebudayaan.

Pada masyarakat Sunda, pola seperti ini tidak ditemukan. Corak budaya yang berkembang adalah kebudayaan rakyat di mana posisi keraton tidak terlalu menentukan pembentukan variasi budaya. Kebudayaan yang berkembang pada masyarakat Sunda didominasi oleh kebudayaan agraris dengan berbagai keunikannya. Dengan kata lain, kebudayaan Jawa dapat didefinisikan sebagai kebudayaan feodal yang hirarkis sementara kebudayaan Sunda adalah kebudayaan rakyat yang egaliter yang mencerminkan kesamaan derajat antar manusia. Salah satu buktinya adalah bahasa Sunda Buhun yang demokratis dan tidak hierarkis pada masa pra-Mataram seperti terlihat dalam undak-usuk sekarang.

Bukti lain yang mempertegas adalah seni pewayangan. Pada masyarakat Jawa, lakon cerita wayang merupakan sumber ilham dalam memahami fungsi-fungsi sosial mereka dalam hidup berbangsa dan berbudaya. Epos Mahabarata dan Ramayana menjadi sumber pendidikan etis yang menghasilkan perilaku-perilaku yang kastaistis seperti kemunculan slogan ningrat dan wong cilik tadi. Pada masyarakat Sunda, seni pewayangan lebih merupakan media hiburan pelepas lelah dalam aktifitas agrarisnya sehari-hari. Orang Sunda tidak menjadikan lakon cerita wayang sebagai sabda suci yang mesti diteladani. Mereka telah memiliki etika agraris yang sangat kuat yang tidak bisa digantikan dengan etika Hindu-Budha seperti yang ditayangkan dalam pewayangan yang sangat rumit dengan nilai-nilai filosofisnya. Sifat egalitarian masyarakat agraris dan kepercayaan monoteistik orang Sunda yang sudah lama berakar kuat ini justru menjadi bekal penerimaan orang Sunda terhadap ajaran agama baru yang sesuai dengan kultur dan kepercayaan mereka yaitu Islam. Ketika Islam datang ke tatar Sunda dan mulai berinteraksi dengan masyarakatnya, spontan mendapat sambutan yang sangat luar biasa, terutama dari kalangan rakyat biasa.

Realitas egalitarianisme masyarakat Sunda, tradisi komunikasi yang demokratis dan pengaruh Islam yang luas setelahnya, adalah penyebab tidak banyak ditemukannya Candi di tatar Sunda sebagai simbol hegemoni kerajaan dan nilai-nilai Hindu. Egalitarianisme nilai-nilai masyarakat dan demokratisnya pola komunikasi antara penguasa dengan rakyat berpengaruh pada cara raja dan rakyatnya memandang kekuasaan dan cara memandang dirinya masing-masing. Raja tidak perlu memisahkan dirinya dalam sebuah bangunan Candi yang eksklusif dan kokoh jauh dari rakyatnya.

Sebagaimana keraton berfungsi sebagai simbol pemisahan yang jelas antara kompleks kekuasaan raja dengan rakyatnya, candi juga dibangun sebagai simbol penegasan yang jelas antara raja dan rakyatnya dan lebih merupakan sarana eksklusif para raja melakukan ritus sesembahan dan pemujaan. Di tatar Sunda yang egaliter dan kedekatannya dengan alam sebagai masyarakat agraris menyebabkan fokus sesembahan dan penghormatan lebih langsung kepada alam dan ke sanghyang ketimbang kepada para raja.

Hanya Satu Kerajaan
Di Nusantara, fungsi candi bukan hanya sebagai tempat beribadah para raja semata, tetapi juga sebagai monumen sebuah dinasti yang berkuasa. Pertarungan politik dan adu gengsi kekuasaan antar kerajaan telah menghasilkan candi-candi megah di sekitar Jawa Tengah dan Jawa Timur seperti Wangsa Syailendra dengan Candi Borobudurnya dan Wangsa Sanjaya dengan Candi Prambanannya. Pergantian kekuasaan kerajaan, baik melalui suksesi formal maupun melalui perebutan kekuasaan selalu diiringi dengan pembangunan candi megah sebagai monumen kekuasaannya. Ketika kita menyaksikan banyaknya candi-candi besar di Jawa Tengah dan Jawa Timur, maka kita dapat menduga selain sebagai simbol majunya sebuah kerajaan, betapa banyaknya pula konflik dan persaingan politik yang terjadi di Jawa pada zaman itu.

Fungsi candi sebagai monumen kekuasaan seorang raja seperti ini tidak ditemukan di tatar Sunda karena kerajaan yang berkuasa di tatar Sunda hanya satu yaitu Kerajaan Sunda, cuma pusat pemerintahannya saja yang berpindah-pindah sejak dari Galuh (Ciamis), pindah ke Pakuan Padjadjaran (Bogor), pindah lagi ke Kawali (Ciamis) dan kemudian pindah ke Pakuan lagi (Sartono Kartodirdjo, 1977). Dengan kata lain, kekuasaan raja di Sunda tersentralisir dan kemungkinan keratonnya pun hanya satu. Tetapi –paling tidak hingga saat ini— keratonnya pun belum ditemukan berada di kota mana dari tempat yang berpindah-pindah itu. Candi yang sudah ditemukan pun, seperti candi Cangkuang di Garut, candi di Batujaya Karawang dan di Bojongmenje Rancaekek, Bandung, selain proses rekonstruksinya masih kontroversial, juga belum merepresentasikan sebagai bekas peninggalan kekuasaan kerajaan Sunda. Dengan demikian, kekuasaan tunggal yaitu kerajaan Sunda adalah alasan kuat yang mendukung alasan-alasan lain yang sudah dikemukakan tentang tidak banyaknya candi di tatar Priangan.

Dengan demikian, kelangkaan candi di sebuah kawasan tidak selalu mengkespresikan tingkat peradaban. Candi hanyalah salah satu bangunan monumental yang dibangun oleh sebuah dinasti kerajaan untuk kebutuhan prestise sesembahan keluarga raja, selain sebagai simbol kekuasaan. Kerajaan Sunda adalah kerajaan kuat yang terbukti ketika kerajaan Madjapahit berada dipuncak kekuasaannya, kerajaan Sunda tidak pernah takluk di bawah pengaruhnya. Dengan demikian, pendirian candi dalam sebuah wilayah kekuasaan lebih berhubungan langsung dengan pola kekuasaan, konsep teologis dan tradisi politik yang berkembang. Tampaknya, sesuai dengan kecenderungan kuat konsep teologisnya yang monoteistik, tradisi pola komunikasi yang demokratis antara penguasa dan rakyatnya serta kekuasaan Sunda yang terpusat dan tunggal, kelangkaan dan bahkan ketiadaan candi di Tatar Sunda memang sebuah kemestian sejarah. Inilah kekhasan lokal Sunda. Masyarakat Sunda perlu membuang semacam “ratapan historis” kelangkaan candi di Jawa Barat sebagai sebuah indikasi rendahnya peradaban atau  sebaliknya banyaknya candi sebagai indikasi prestasi peradaban. Persepsi ini justru sebuah sikap “minder kebudayaan” (cultural inferiority complex) dihadapan kebudayaan lain, sementara kebudayaan Sunda memiliki sistem sosial kebudayaan sendiri yang sesungguhnya lebih berorientasi nilai-nilai, relijiusitas dan hal-hal lain yang bersifat abstrak. Wallahu a’lam!!

Dosen pada Jurusan Sejarah dan Peradaban Islam (SPI)
UIN Sunan Gunung Djati Bandung.

15 thoughts on “Menjawab Misteri Kelangkaan Candi di Tatar Sunda

  1. ummy

    tulisan yang lengkap, cukup menjawab pertanyaan yang selama ini melekat di kepala saya….bagus sekali artikelnya…selain itu konsep kemegahan tidak dominan di orang sunda, orang sunda lebih toleran.

  2. hadi kharisman

    sampur(n)a(ing)sun. Assalam. wr.wb.

    Akang MH, memang saya setuju dengan akang dalam alasan kurangnya candi di tatr jawa barat (untuk tidak mengatakan “sunda” yang sejatinya bukan nama kaum, melainkan kesejatian monoteistik (su-ananda, kebenaran tunggal yang teguh, atau mustaqim) tatar nusantara dan sunda-land) karena mereka langsung berpusat pada sang Hyang. Namun saya ingin memberi komentar, bhwa kemungkinan orang2 jawa timur dan barat pun, demikian yang lainnya sebenarnya memiliki keyakinan monoteistik yang tidak berbeda. yang berbeda adalah pada cara.
    saya pernah mengikuti kajian aki gindrong, ki uci dari bandung, yang membagi strata kepemimpinan ilahiyat orang nusantara pada 3 secara hirearkis dari bawah ke atas, ratu, resi , rama, dengan skema relasi seperti hirearki satu cahaya yang menyebar dalam 3 tingkat intensitas, ada banyak ratu, berpusat bada banyak resi, dans emuanya berpusat pada satu rama, sang manusa ungggul (maung) yang ahuuuung atau insan kamil yang memanifestasikan akhlak ketuhanan (takhallaq bi akhlak allah)dengan sempurna, yang menyatukan 2 sifat dalam karakter pemeliharaan Tuhan (rububiyah) atas alam atau kepeng-ASUH-an , yang paradoks (coidentia oppositerum), yaitu, ASIH dan ASAH, feminimitas dan maskulinitas, kaharuman weWANGI suci dan keDIGJAYAAN. Seperti cahaya, semakin ke pinggir semakin tampak, semakin menampilkan bentuk semakin ke tengah/pusat…semakin sederhana, semakin meliputi, semalin mengayomi, semakin tak terlihat dan tak berbentuk pula. Ki uci dalam fase perjalanan aji dirinya sekitar tahun 2007-2008-an membandingkan 3 titik kekuasaan tersebut dengan tingkat titik dalam pusaka KUJANG atau Ku JA Hyang, sembari melihat keserupaan bentuk kujang dengan dengan bentuk pulau jawa sampai ke bima (kalo saya tidak salah), kemudian membagi 3 strata tersebut,s esuai tiga titik, dan tiga titik tersebut sesuai 3 wilayah (barat, tengah, timur) memperlihatkan simbolisasi ketiga strata tersebut secara geografis, barat sebagai kahyangan, tengah sbg karesian, timur sbg karatuan, karenanya ratu meliputi kerajaan, disimpbolkan oleh banyaknya candi kerajaan, tengah simbol karesian, disimbulkan banyaknya candi peribadatan, dan barat sebagai kahiyangan tempat persemayaman para rama…simbol suwung…kekosongan, karena pada strata ini seorang rama menyatu dengan alam, menyarikan ajaran suci bukan dari bentuk sekunder namun dari bentuk primer, menengadah ke langit menuju kehampaan bahasa yang penuh kepadatan eksistensial. jika saya simpulkan dalam persfektif ini, bukan masalah yang satu lebih mono teistik dari yang lain, namun lebih mengadopsi bentuk lahiriyah dari yang lain….yang satu lebih pure,nge-wiwitan dan yang lain dan yang lain lebih berwarna, lebih ngeraga. karenanya disimbolkan dengan penuh siloka ragawi. demikian, semoga bermanfaat cag rampes

  3. mardani

    makalahnya bagus kang, kalau bisa lebih diperluas lagi kajian kesundaannya,

  4. Orang Hindu

    Kok saya baca sepintas kepercayaan dan keyakinan orang sunda tentang Sanghayang Widhi percis menurut Hindu di Bali dan tadi saya baca ada Dewi Sri (Dewi Padi) itu kayaknya lebih pas kepercayaan Hindu dari pada islam di islam mana ada Dewi Sri dan dari segi nama nama misalnya Batara, lebih pas ke Hindu….

  5. Pingback: Asal Muasal Shalat disebut Sembahyang ? « Kanzunqalam's Blog

  6. niknik

    Leres kang, gali “Sunda” terus dan ungkapkan kembali sejarahnya yang dibekukan serta ditutup oleh Belanda demi kepentingan mereka yang menyudutkan bahwa leluhur kita yang menganut animisme dan dinamisme padahal budaya Sunda itu lebih dulu maju daripada mereka (Belanda menyisakan petunjuk untuk diungkapkan yaitu istilah SUnda Besar dan Sunda Kecil). Coba ungkapkan sejarah dari sisi bahasa kuno ( bahasa kawi ) yang banyak mengandung petunjuk. Contoh : kata Indie atau indo itu artinya induk, Nesia atau nation artinya bangsa. Alahasil Indonesia itu induk bangsa. Dahulu bangsa Indie (induk/indo) disebut Sindie atau Sunda. Dan Kawasan Sunda itu tempat Parahyang-parahyang berkumpul, makanya disebut Parahyangan dan para pendatang menyebutnya Periangan. Contoh kedua : Silih artinya pengganti, makanya pengganti Prabu Wangi (aslinya) adalah Silih Wangi (Siliwangi) yaitu penyilih berikutnya setelah Prabu Wangi dan wewengkon (wilayah)-nya mendunia dengan menunjuk kesultanan-kesultanan di banyak tempat di dunia ini (itu cerita orang-orang tua saya)
    * Pernah dengar kata Indo-German? Katanya indo-german itu adalah bangsa Arya, artinya induk bangsa Jerman adalah Bangsa Arya (artinya Bangsawan) termasuk bangsa-bangsa Arab. Dan Indo Germania inilah keturunan langsung dari Nabi Ibrahim AS yang menurunkan para nabi-nabi.
    Sejumput semoga berguna.

  7. Bukan -kah bukti2 itu sengaja dihancurkan VOC/Belanda karena tidak bisa menerima “kerjasama” monopoli perdagangan seperti penolakan Kesultanan Banten pada masa itu kepada Pemerintah Kolonial Hindia Belada (VOC). Kalau mau “bekerjasama” -kan bisa dibiarkan lestari peninggalan2 lampau nya seperti yang ada sampai saat ini : Kerajaan Mataram dan Kesultanan Solo.

  8. Pingback: Asla Muasal Shalat dosebut Sembahyang | DPD IMM SUMATERA UTARA

  9. Salam kang MH, nuhun atas tulisannya cukup memberi informasi bagi saya. saya sendiri sedang riset tentang akar kekerasan di ekorigion dataran rendah Rancaekek. ini hanya sub bab dalam tulisan saya, lacakan saya terhadap hal ini mengunakan antropologi dan sejarah, juga psikososial seperti di bilang Freud, Lorens, Formm tentang agresi. maka saya sangat tertarik menghubungkan analisa akang tentang temuan candi bojongmenje sebagai simbol kekuasaan kerajaan (tarumanegara barangkali, atau galuh ?) dan sebagai prestise sesembahan keluarga raja atau sebuah hegemoni agama . bagi saya ini menarik dan perlu kita diskusikan ulang?
    Kalo kita percaya bahwa bhw orang sunda pra hindu – sunda wiwitan- yang sering disebut sebagai orang gunung atau dalam istilah negatif sebagai jalema manuk adalah sekelompok orang yang tinggal dengan ngahuma, berpindah pindah dari satu ladang ke ladang lain sesuai rotasi tanam ladang mereka, artinya upaya hegomoni kerajaan ataupun melalui jalur agama hindu ini tidaknya nyata, tidak berhasil karena pada kenyataaan orang sunda tinggal di pegunungan, pada masa itu menurut saya rancaekek hanyalah sebuah konsep ekorigion, dataran rendah lebong, rawa (ranca) habitat burung betet(ecek), bahkan beberapa penduduk menyebut ada habitat badak jawa disana, ini sekarang jejaknya bisa di baca dengan penamaan kampung Lembang Badak di desa Jelegong yang berarti kubangan badak. Pada tahun 1927 di dataran rendah Rancaekek pun tercatat hanya ada tiga desa yakni rancaekek, bojong salam dan bojong loa, baru kemudian bojongloa pecah menjadi jelegong. Baru kemudian setelah pemukiman di dataran rendah itu, berkembang sistem pertanian Talun, yang sekarang juga telah hilang tinggal nama sebuah kampung (kampung Talun) di Desa Jelegong.

    Jadi bagi saya data ini menunjukan sebenarnya asumsi candi bojongmenje adalah hegemoni agama dan kerajaan itu kurang pas, barangkali hanya sebuah upaya, upaya yang gagal ?
    Hal ini juga bisa dijelaskan dari sudut sifat orang sunda yang egaliter itu, yang memelihara keseimbangan positif itu. bagi saya agama-agama yang datang ke sunda termasuk dataran rendah Rancaekek tidak dalam kerangka itu hegemoni itu, kalau iya ada tapi upaya itu gagal, karena seperti saya sampaikan tadi rancaekek waktu itu hanya sebuah ekorigion dimana orang sunda tinggal di dataran tinggi. Dan ini menjadi logis kalau candi bojengmenje itu yang bangun adalah tarumanegara dari bogor yang nyata-nyata mungkin saja tidak memahami struktur atau ada yang lose dari mereka terhadap perpektif upaya hegomoni ini, , coba kalau Galuh Ciamis yang nyata-nyata berada di dataran tinggi, mungkin Galuh tidak akan meletakan candi itu di dataran rendah. atau jangan-jangan benar candi ini hanya untuk upaya memenuhi sifat-sifat relijiusitas keagamaan.jadi dia tidak ditempatkan dalam kerangka agresi, kedestruktifan seperti yang di katakan Freud, lorenz, formm.

    Data-data yang ada pun sejauh ini menunjukan tidak ada kedestruktifan, agresi atau konflik yang tercatat pada periode itu di dataran rendah rancaekek yang melibatkan agama-agama. ini bisa dilandaskan pada sifat budaya orang sunda yang harmonis tadi tidak saja terhadap alam tapi terhadap dirinya. INi juga bagisaya terjadi pada periode Islamisasi, agama-agama tidak hadir untuk upaya hegemoni, agresi, dan kedestruktifan seperti itu. kalopun ada pengahncuran terhadap candi seperti di cerita dalam situs bunpar jawabarat itu dilakukan belanda, karena masyarakat menganggap itu sebg tempat yang angker, mungkin juga ada pikiran-pikiran bahwa tempat itu sesat karena tidak sesuai dengan ajaran islam, tapi pilihan destruktif tidak jadi pilihan orang sunda Islam wakt itu disana, hal ini dapat dibuktikan dari sikap warga sekarang seperti juga di beritakan situs budpar, pada saat penemuan dan pemugaran candi bojongmenje tahun 2002, warag tidak berani mengambil barang2 dalam candi, karena pamali katanya, lalu dikubur kembali.

    Yang terjadi bagi saya pada sisi orang Sunda yang sunda wiwitan adalah keseimbangan positif yang bentuknya adalah sinkretisme itu, singkretiesme antara sunda wiwitan, hindu dan islam sekaligus. sampai sekarang hal-hal serupa ini hidup ditengah-tengah kesundaan. Dari yang saya teliti di Rancaekek sebagai daerah dataran rendah, dan di Sekejolang di dekat Tahura Juanda yang merupakan dataran tinggi, singkretiesme itu tampak jelas dari ritus mipit amit, dan doa-doa terhadap nyi pohaci, ataupun pada saat pengeboran sumur artesis dilakukan, perwujudan ketiga nya ada pada ritus itu, doa doa kepada sang hyang masih dilakukan, dupa masih digunakan, dan salawata terhadap nabi dibacakan, juga kasepuhan Cirebon, sunan gunung jati sering disebutkan juga dalam doa-doa itu. inilah sinkreteisme itu, pengakuan terhadap kasepuhan cirebon dalam doa-doa itu sekaligus menjelaskan sebenarnya kapan sebenarnya islam betul-betul masuk dalam kebudayaan kesundaan- yakni pada masa sunan gunung jati. bagi saya justru saat ini sumber-sumber kekerasan, hegomoni, kedestruktifan di dataran rendah rancaekek bersumber dari model pembangunan, dari turbulensi mode of production industriliasasi pertanian dan industri tektile yang terakhir menyebabkan limbah, pengunaan intimidasi kekerasan preman pro perusahaan kepada masyarakat. periode ini kekerasan menjadi benar-benar nyata- hegemoni kapital terjadi. periode ini juga mencatat agama yang pada masa awal pra hindu-sunda wiwitan, dan hindu, islamisasi berhasil menghalau sikap bawaan agresif kita sebagai manusia kali ini kembali di uji, karena agama menjadi potensi kedestruktifan disana, lihat saja kasus pelarangan rumah ibadah gereja oleh umat Islam disana sekarang. sekian dl dari saya kang. semoga ada umpan balik dari akang. salam hormat.

  10. Sundanese In Bali

    Kebetulan saya dari Rancaekek, kebetulan juga kuliah di Bali. Artikel yang menarik. Terdapat pembahasan tentang Dewi Sri, Sang Hyang Widhi dll. Komentar dari Kang Juan Frans pun menarik. Diantos kelanjutannya.

  11. Nu Kapireng ku abdi mah sanes kitu Pa Dosen ! Candi di Tatar Sunda seueur anu teu acan kaungkeb (atanapi ngahaja teu ditalungtik) gening kabuktosan di Karawang sareng Rancaekek kapendak aya situs Candi anu umurna langkung kahot ti Borobudur,

  12. Pingback: Monotheime Masyarakat Sunda | kendy ferdian

  13. Pingback: Kembang 6 Rupa: Pertemuan saya dengan Sunda Wiwitan | Inimahsumedang

Leave a comment