Memeriksa Kembali Refleksi Syahadat Kita

Mata Air Bening Nilai-nilai Syahadat

Syekh Endang Somalia
Moelfich Hasbullah

a

Syahadat adalah kesaksian seorang Muslim bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah rasul utusan-Nya. Pengakuan ini memiliki konsekuensi bahwa Allah adalah Tuhan kita yang satu dan selamanya, hidup kita merasa berada dalam pengawasan-Nya, hidup kita pasrah diatur oleh kehendak-Nya. Dengan demikian, kesaksian dan sumpah ini harus dibuktikan dalam kehidupan apakah syahadat kita hanya dimulut atau benar-benar dibuktikan dalam segala sikap dan perbuatan. Setiap Muslim akan diminta pertangungjawabannya di akhirat kelak tentang pengakuan syahadatnya. Kita sering tidak menyadari sikap dan perbuatan kita sehari-hari tidak sesuai dengan syahadat atau kesaksian yang kita ikrarkan. Lain kata, pengakuan kita hanya di mulut. Kesaksian syahadat seharusnya berarti lima hal seperti di bawah ini sebagai bukti pengakuan keimanan kita kepada Allah.

________________________

1. Karena-Nya
Pertama, bersyahadat artinya harus karena-Nya. Karena-Nya adalah melakukan segala sesuatu karena Allah SWT, tidak karena yang lain. Ini adalah basis dalam melakukan segala amal ibadah, dasar dalam bertauhid. Apa pun yang dilakukan oleh seorang Muslim harus selalu dalam rangka karena Allah. Hidup diniatkan karena Allah, ibadah karena Allah, bekerja dan berusaha karena Allah, berbuat sesuatu karena Allah, mencinta dan membenci karena Allah, mencari ilmu karena Allah, memimpin karena Allah, menolong dan membantu orang karena Allah dan seterusnya. Contoh, shalat jelas-jelas harus karena Allah: “Peliharalah segala shalat (mu), dan (peliharalah) shalat wusthaa. Berdirilah karena Allah (dalam shalatmu) dengan khusyuk” (Al-Baqarah: 328). Menegakkan kebenaran harus karena Allah: “Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan” (Al-Maidah: 8). Tawakkal harus karena Allah: “Ketika dua golongan dari padamu ingin (mundur) karena takut, padahal Allah adalah penolong bagi kedua golongan itu. Karena itu hendaklah karena Allah saja orang-orang mukmin bertawakal” (Ali Imran: 122). Segala sesuatu karena-Nya akan mendatangkan keikhlasan yang murni dalam diri kita. Karena segala sesuatu dilakukan karena Allah, maka bila misalnya kita berbuat baik pada seseorang dan kebaikan kita tidak mendapatkan respon yang simpatik dari orang yang bersangkutan, atau tidak mendapat balasan kebaikan, kita tidak perduli, tidak ambil pusing, tidak dipikirkan, biarkan saja, karena apa yang kita lakukan bukan karena dia tapi karena Allah. Inilah karena-Nya sebagai bukti bersyahadat yang benar. Orang yang kesal apalagi marah karena kebaikannya tidak dibalas, menunjukkan amalnya bukan karena Allah tapi karena balasan atau karena orang itu.

2. Untuk-Nya
Yang kedua, melakukan segala sesuatu untuk-Nya. Sebagai Muslim, selain karena-Nya, segala sesuatu harus dilakukan dan dipersembahkan hanya untuk Allah. Untuk-Nya adalah menyangkut hasil kerja setelah kita melakukan sebuah amal kebaikan dan ibadah. Untuk-Nya adalah meniatkan segala perbuatan dan hasilnya hanya untuk Allah semata. Kita beramal dan berbuat baik untuk Allah bukan untuk yang lain-lain. ”Katakanlah: ‘Sesungguhnya shalat, ibadah, hidup dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam’ (Al-An’am: 162). Ketaatan kita hanya untuk Allah saja: “Dan perangilah mereka itu, sehingga tidak ada fitnah lagi dan (sehingga) ketaatan itu hanya semata-mata untuk Allah. Jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu), maka tidak ada permusuhan (lagi), kecuali terhadap orang-orang yang dzalim” (Al-Baqarah : 193).

3. Didalam-Nya
Yang ketiga melakukan segala sesuatu didalam-Nya. Segala tindakan dan perbuatan kita harus dikerjakan dalam aturan, kehendak dan ridha Allah. Karena kita sudah bersaksi mengakui Allah sebagai Tuhan kita dalam syahadat, artinya kita akan taat total kepada-Nya. Ketaatan itu adalah mengerjakan sesuatu dalam aturan Allah SWT. Inilah makna ketiga bersyahadat dalam kehidupan. Kita tidak boleh melakukan sesuatu yang bertentangan dengan kehendak Allah atau syari’at agama. Jadi harus didalam-Nya yaitu dalam cara dan proses yang dikehendaki Allah. Mencari rezeki, mencari ilmu, beribadah, berdakwah, bergaul, mendapatkan jabatan dan lain-lain semuanya harus dilakukan dengan cara yang benar menurut aturan dan kehendak Allah SWT. Mendapatkan rizki dan mencari uang dengan cara tidak halal, berarti tidak di dalam (aturan)-Nya, berarti syahadatnya belum benar, berarti syahadatnya dilanggar sendiri. Mencari ilmu dengan niat yang salah seperti kesombongan, untuk jabatan, karir atau uang, berarti tidak didalam aturan Allah, berarti syahadat-Nya belum benar. Beribadah dengan riya, berbuat amal agar mendapat pujian, meminta jabatan apalagi memobilisasi massa agar terpilih jadi pemimpin, dengan kasak-kusuk, berjanji palsu, bagi-bagi uang (money politics), niatnya untuk mendapatkan fasilitas dan penghormatan, dll adalah sikap bukan didalam-Nya, bukan dalam aturan-Nya. Orang seperti ini syahadatnya belum benar. Ia melanggar syahadat, melanggar kesaksiannya sendiri di hadapan Allah SWT. Tauhidnya hanya dimulut, tidak dibuktikan dalam tindakan nyata.

4. Segala-Nya
Keempat, bersyahadat harus segala-Nya. Segala-Nya adalah melakukan amal perbuatan, sejak dari niat, proses, cara, tujuan dan hasil segalanya dalam aturan dan keridhaan Allah. Niatnya benar, caranya benar, tujuannya benar, hasilnya juga benar. Inilah sikap segala-Nya sebagai bukti syahadat kita kepada Allah. Kebanyakan kita beramal hanya sebagian-sebagian. Misalnya, niatnya karena Allah, tapi caranya salah. Mulutnya mengatakan bahwa tujuannya ibadah karena Allah tapi niatnya ingin dapat pujian dan ketika dipuji senang. Niatnya karena Allah tapi cara melakukannya salah. Orang yang tidak segala-Nya menunjukkan syahadatnya belum benar karena dasar atau keyakinannya tidak sesuai dengan perbuatannya. Atau, perbuatannya tidak nyambung dengan keyakinannya. Akibatnya, kita masuk ke dalam golongan munafik, sikap yang dikutuk dalam agama.

5. Kepada-Nya
Kepada-Nya adalah menyangkut arah, yaitu hanya kepada Allah kita mengarahkan amal ibadah kita. Misalnya shalat. Niatnya karena Allah SWT, caranya sesuai dengan syari’at, tapi arahnya juga harus menghadap kiblat, tidak bisa kemana saja. Menghadap kiblat ini adalah makna kepada-Nya. Bila niat dan caranya benar tapi tidak menghadap kiblat, berarti hanya karena-Nya dan didalam-Nya tapi tidak kepada-Nya karena melanggar ketentuan syari’at. Ibadah melanggar ketentuan syari’at artinya artinya ibadahnya tidak benar atau tauhidnya tidak utuh. Contoh lain, kita akan memberikan shadaqah atau infak pada seseorang, lalu kita memilih dan mengutamakan yang orangnya jujur, akhlaknya bagus dan ibadahnya rajin, itu berarti kepada-Nya. Kalau asal memberi kepada siapa saja, bisa jadi pemberian kita tidak bermanfaat sehingga nilainya kurang, fadhilahnya rendah. Atau, misalnya kita beramal memberi bantuan kepada sebuah sekolah. Walaupun ada madrasah yang kekurangann dan membutuhkan tapi kita memberikannya kepada sekolah umum, itu berarti tidak kepada-Nya. Demikian juga shadaqah kepada yayasan yatim piatu. Bila tidak memperdulikan yayasannya apa, kita menganggap yang Islam atau bukan sama saja, itu berarti tidak kepada-Nya. Amalnya baik tapi belum benar. Amal kita hanya karena-Nya dan tidak kepada-Nya. Bersyahadat itu harus lurus, utuh dan lengkap, semuanya harus mengarah kepada Allah SWT. Pada kenyataannya, berbuat kebaikan tidak bisa kepada siapa saja, harus kepada yang tepat. Banyak memberi kepada pengemis belum tentu membawa kebaikan. Jelasnya, tidak akan menjadi ibadah bila malah membuatnya semakin giat mengemis. Dalam berinfak dan shadaqah, kita harus memilih-milih sasaran yang lebih tepat. Dan pada dasarnya, kita lebih suka memberi orang yang baik, yang amanat, yang akhlaknya bagus, yang agamanya taat, yang dampaknya baik. Bershadaqahlah ke tempat-tempat yang lebih menenangkan dan menentramkan hati kita seperti orang yang membutuhkan, orang yang sedang bertaubat, orang yang sedang mencari ilmu, ke tempat-tempat ibadah seperti masjid, sekolah, pesantren atau madrasah. Inilah amal kepada-Nya sebagai refleksi dan kesadaran tauhid yang lengkap kepada Allah, tidak sebagian-sebagian.[]

2 thoughts on “Memeriksa Kembali Refleksi Syahadat Kita

  1. subhanallah indah sangat masya Allah…alhamdulillah makasih akhi…subhanallah semuga selalu terngiang di lubuk hati ini…jazakallahu qhairan…

  2. Subhannallah…Sukron Satir…sangat bermanfaat sekali bagi kita semua yg se_Iman Islam…smg yg bwt tautan ini mendapat pahala yg besar dari Allah.Swt Amiin Yaa Robbal Allaamiin…212x

Leave a comment