Tidak Ada Aturan dalam Cinta

Dikisahkan, pada suatu hari yang terik di daerah padang pasir bebatuan, Nabi Musa AS sedang beristirahat dibawah pohon yang rindang. Ia kelelahan hari itu dan tertidur. Beberapa saat kemudian, ia terjaga oleh suara nyanyian seorang gembala yang lewat sambil menggiring kambing-kambingnya. Anak gembala itu bersenandung lirih:

“Di manakah Engkau? …
Semalam aku menunggui-Mu
Aku berharap-harap, namun Kau tak kunjung datang …
Kemana harus kupergi?
Ke mana aku harus mencari-Mu?
Oh.. Kekasihku, dimanakah Engkau?
Oh.. Kekasihku, Oh.. Tuhan…”

“Aakh.., gembala ngawur!“ Pikir Musa. ”Ia pasti sedang ditinggal oleh kekasihnya.“ Ia kembali memejamkan matanya. Sementara gembala tadi kembali melantunkan syairnya.

”Ooh.. Kekasihku, Ooh.. Tuhanku
Berikan aku kesempatan …
Untuk membereskan tempat tidur-Mu …
Berikan aku kesempatan untuk membasuh kaki-Mu …
Ooh.. Kekasihku, Ooh.. Tuhanku
Dengarkanlah ratapanku
Aku merindukan-Mu
Sekali aja… kekasihku…
Berikan aku kesempatan untuk
Menyuguhkan anggur terbaik bagi-Mu
Buah-buahan yang terpilih untuk-Mu
Berikan aku kesempatan
Oh Tuhanku… Oh Kekasihku…”

Kali ini Musa mendengarkan nyanyian gembala tadi sampai habis. Ia marah dan gusar. Betapa bodohnya gembala itu. Ia menghampirinya.
“Masih waraskah kamu? Apakah lagu itu kau tujukan kepada Tuhan?”
Sang gembala menyalami Musa dan menjawab,
“Ya Tuan, nyanyian tadi memang untuk Tuhan. Salahkah hamba?”
Musa sudah tidak dapat menahan amarahnya. “Kau ini Bani Israil ya?”
“Ya Tuan, hamba Bani Israei.” Sang gembala gemetaran.
“Kenalkah engkau, siapa aku ini?” Musa menanyakan kepada gembala tadi.
“Maaf Tuan, hamba orang bodoh. Hamba tidak mengenal Tuan,” sang gembala merunduk-runduk mohon maaf.
“Aku ini Musa. Aku ini utusan Tuhan!” katanya dengan sombong sambil menyebutkan namanya.
“Maaf Tuan, maafkan hamba. Hamba orang yang bodoh. Hamba tidak mengenal Tuan,” sang gembala semakin gemetaran.
“Sudah! Sudah! Tetapi apa yang sedang kau nyanyikan tadi?” Wajah Musa masih merah.
“Maafkan hamba Tuan. Nyanyian tadi adalah ungkapan rasa rindu hamba kepada Tuhan,” ungkap sang gembala sedikit memberanikan diri.
“Ungkapan rasa rindu? Dan kau akan membasuh kaki-Nya, kau akan membereskan ranjang-Nya, kau akan menyuguhi-Nya buah-buahan? Kau akan melakukan semua itu? Kamu anggap Tuhan itu apa? Seperti manusia? Kau telah menghujat Tuhan. Kau gembala bodoh, mohon ampunlah pada-Nya agar kau dimaafkan,” bentak Musa marah.

Sang gembala bingung. Ia masih belum mengerti apa kesalahannya. “Apakah keinginanku untuk membasuh kaki Tuhan itu salah? Tuhan kan pasti tidur dan pasti punya ranjang, apakah membereskan tempat tidur-Nya itu salah?“ Pikirnya lugu, polos, sederhana. Ia tidak mengerti maksud Musa. Tetapi bagaimanapun juga Musa adalah seorang Nabi. Ia tentu benar. Sang gembala berfikir demikian dan air mata pun mulai mengalir membasahi pipinya.
“Tuan maafkan hamba. Hamba memang bodoh, tidak punya ilmu. Hamba tidak tahu apa yang harus hamba lakukan, apa yang harus hamba ucapkan. Maafkan Hamba,“ katanya mengakui salah.
“Sudah! Sudah! Pergilah dari sini,” bentak Musa.

Sambil berlalu, gembala itu merasa sedih dan bingung. Begitu sedihnya hingga tanpa sadar ia meninggalkan hewan-hewan gembalaannya dan memasuki hutan belukar. Musa pun meninggalkan tempat itu dan kembali ke kemahnya.

Sejak peristiwa itu, Musa merasakan keanehan. Biasanya ia dapat berdialog dengan Tuhan hampir setiap hari. Tetapi, setelah kejadian itu, tiba-tiba ia tidak dapat berkomunikasi dengan Tuhan. Beberapa hari Tuhan tidak menyapanya. Sekarang giliran Musa yang bingung dan gelisah. “Apakah kesalahanku?“ Pikirnya. Berhari-hari ia mengharap-harap Tuhan menemui dan menyapanya. Tapi, kini tidak terjadi lagi. Ia menangisi nasibnya. Ia belum sadar juga, kesalahan apa yang telah ia lakukan, sehingga Tuhan membisu. Akhirnya, Musa menengadahkan tangannya ke langit, berdoa: “Tuhan, maafkan aku. Apapun kesalahan yang telah aku buat, maafkanlah aku!”

Mendengar pertaubatan Musa yang sungguh-sungguh, Tuhan akhirnya berfirman:
“Musa! Kau telah menyakiti hati seorang kekasihku. Gembala yang kau marahi itu adalah kekasihku. Dalam kasih, dalam cinta, tidak ada peraturan, tidak ada formalitas. Siapakah engkau ini? Sehingga dapat menetapkan peraturan-peraturan dalam cinta? Mengapa tidak dibiarkan dia berdo’a dengan caranya sendiri? Itulah cara dia berdo’a. Itulah kemampuannya memahami-Ku. Mengapa kau harus melarangnya?”

Musa sadar akan kesalahannya. Ia malu. Ia tidak dapat mengenali seorang kekasih Tuhan dan ungkapan cintanya. Ia menyesali perbuatannya. Ia benar-benar bermohon Tuhan memaafkan kesalahannya.

“Jangan, jangan mohon maaf pada-Ku. Carilah gembala itu! Yang harus memaafkan kamu adalah dia, bukan Aku.”

Musa mencari gembala itu kemana-mana. Berhari-hari ia berjalan, ia tidak menemukannya. Ia sudah putus asa. Suatu hari, secara kebetulan ia tersesat dalam hutan dan menemukan gembala itu sedang duduk diam di tepi sebuah danau. Musa sangat gembira. Ia girang dan menghampirinya:

“Temanku, aku Musa. Kenalkah engkau padaku? Ternyata kemarin  itu aku yang bersalah. Seharusnya aku tidak mengoreksi dan memarahimu. Kamu benar. Cintamu kepada Tuhan sungguh luar biasa. Mari kita menyanyikan bersama lagumu yang kemarin itu.”

“Lagu? Maafkan hamba. Tuan sudah terlambat. Tuan memang benar. Tuhan tidak dapat diperlakukan sebagai manusia. Sewaktu mencuci sepatu hamba yang sudah robek, hamba baru sadar bahwa Dia sebenarnya berada dalam diri hamba sendiri. Sekarang hamba sudah tidak merindukan-Nya lagi. Hamba telah menemukan Dia. Sekarang tidak ada lagu perpisahan lagi. Sekarang yang ada hanyalah pertemuan, perayaan. Maafkan hamba wahai Nabi Allah, tetapi Tuan sudah terlambat. Sekarang hamba tidak merindukan-Nya lagi. Hamba telah menemukan-Nya.” Demikian kata sang gembala.

______________

Pelajaran:

Dalam kisah ini, Musa merasa benar sendiri dalam memahami Tuhan dan mudah menyalahkan orang lain. Ia merasa Tuhan itu punyanya sendiri! Dan orang lain salah, tidak benar. Karena Musa seorang Nabi, ia langsung ditegur dari kesalahannya. Allah Yang Maha Bijaksana membiarkan setiap hamba-Nya memahami diri-Nya sesuai kadar pengetahuan, kemampuan dan kesanggupannya masing-masing. Apalagi dasarnya cinta. Dalam cinta tidak ada aturan, tidak ada hukum dan ketentuan-ketentuan. Dalam cinta, semakin aneh, semakin tidak teratur, semakin tidak terkendali, bahkan semakin gila, justru semakin tinggilah kadar cintanya. Karena itulah kisah Laila Majnun disebut-sebut sebagai kisah cinta paling sejati di muka bumi, cinta yang sangat tinggi kualitasnya. Selain kata-kata indahnya mengalir dari rasa cinta yang sangat dalam kepada Laila, laki-laki itu pun sampai gila. “Majnun”  artinya gila. Begitulah, cinta bukan urusan logika tapi ukuran rasa. Rasa tidak mengenal batas dan peraturan. Musa ditegur Allah karena bersikap sok tahu.

Dalam kehidupan kita sehari-hari. Kita sering mendengarkan ungkapan-ungkapan dari seseorang penceramah, mubaligh, ustadz, yang tanpa disadarinya merasa benar sendiri dalam mehamami Tuhan dan agama. Mereka mengklaim bentuk-bentuk kecintaan pada Tuhan, nabi dan agama seperti marhaban, mauludan, shalawatan, tahlilan, sebagai salah, bid’ah dan terlarang. Dialah yang paling benar dalam mencintai Allah dan Nabi-nya. Hadits-hadits dibacakan dan ditafsirkan untuk mendukung larangan dan sikap merasa benar sendirinya. Sebagai hamba, kita harus tawadhu dalam beragama, kita harus merelatifkan pandangan kita karena kita ini bukan Nabi. Biarkan orang lain menikmati cara beragamanya, mengekspresikan rasa cintanya kepada Tuhan dan Nabi selama tidak menyimpang dari dasar-dasar syari’at agama. Salah benar bukan hak kita untuk menilai dan menghukuminya. Allahlah nanti di akhirat kelak yang akan memutuskan salah benarnya pandangan seseorang. Wallahu ‘alam!!

Leave a comment