Mata Air Kekuatan Moril Manusia

Endang Somalia
Moeflich Hasbullah

a

Pada setiap diri manusia ada kekuatan moril masing-masing yang mendorong hidupnya bergerak, menjadi energik, menjadi tumbuh semangatnya dan memuncak gairah hidupnya. Kekuatan moril ini muncul atau hidup bila seseorang sedang memenuhi kebutuhan jiwanya. Kebutuhan ini merupakan karakter alami, pembawaan dan inherent dalam jiwa seseorang. Setiap orang berbeda-beda wilayah pemenuhan kebutuhannya tersebut. Kekuatan moril ini adalah potensi jiwa yang diciptakan oleh Tuhan, karenanya tidak bisa dihilangkan. Ada orang mungkin memiliki lebih dari satu potensi, tetapi selalu ada yang paling menonjol, disitulah jiwanya. Sebagai potensi, tidak ada hubungannya dengan baik atau buruk. Ia adalah sumber energi. Akan menjadi baik atau buruk tergantung bagaimana orang mengarahkan potensi tersebut dalam kehidupan, apakah diarahkan untuk amal kebaikan atau didorong untuk mengikuti hawa nafsu dan melakukan keburukan. Menjadi baik atau buruknya ditentukan oleh bagaimana kedekatan seseorang dengan agama, apakah ia menjadikan agama sebagai pedoman atau tidak dalam mengaktualisasikan potensinya tersebut.

Pertama, Benda
Pertama, kekuatan moril benda. Ini adalah jenis manusia yang kekuatan morilnya ada pada benda. Benda bagi manusia jenis ini adalah sumber inspirasi, gairah dan semangat hidupnya. Bagi manusia jenis ini, benda berfungsi sebagai sesuatu yang mendatangkan semangat hidup, yang menumbuhkan tenaga dan gerak hidupnya. Karena kekuatan morilnya pada benda, orang seperti ini selalu memiliki harta-harta benda yang disenanginya sebagai kekuatan morilnya, sebagai charger jiwanya, sebagai yang menggerakkan dinamika hidupnya. Bila orang seperti ini tidak sedang mengurus benda atau tidak memiliki benda-benda yang dicintainya ia akan sengsara, jiwanya tidak akan hidup, semangatnya akan turun. Sebaliknya, kesenangannya pada harta benda menyebabkan semangat hidupnya muncul dan bergairah.

Bila orang jenis ini taat menjalan perintah agama, taat beribadah, tauhidnya lurus kepada Allah maka benda-benda itu akan diperlakukan dengan syari’at dan akhlak agama: membayarkan zakatnya, shadaqah dan dijadikan sarana ibadah dan dakwah menyeru pada kebaikan. Kecintaannya pada benda sendiri tidak bisa dihilangkan. Tetapi sebaliknya, bila kesadaran agamanya rendah maka orang jenis ini akan menjadi pencinta harta yang lupa diri, menjadi manusia kikir, kesenangannya mengumpul-ngumpulkan harta dan menghitung-hitungnya kemudian kelak akan menjadi penghuni neraka Huthamah seperti yang disinyalir dalam Al-Qur’an surat Al-Humazah ayat 1-9: “Kecelakaanlah bagi setiap pengumpat lagi pencela, yang mengumpulkan harta dan menghitung-hitungnya, dia mengira bahwa hartanya itu dapat mengekalkannya, sekali-kali tidak! Sesungguhnya dia benar-benar akan dilemparkan ke dalam Huthamah. Dan tahukah kamu apa Huthamah itu? (yaitu) api (yang disediakan) Allah yang dinyalakan, yang (membakar) sampai ke hati. Sesungguhnya api itu ditutup rapat atas mereka, (sedang mereka itu) diikat pada tiang-tiang yang panjang.”

Kedua, Tahta
Kedua, kekuatan moril tahta. Ada juga manusia yang kekuatan morilnya pada tahta yaitu kekuasaan, pangkat dan jabatan. Bagi orang ini, tahta adalah sumber energi dan penyemangat jiwanya. Urusan yang disenanginya adalah bila sudah berkaitan dengan jabatan. Orang jenis ini merasa in, senang, bergairah bila memiliki tahta, jabatan dan kekuasaan. Sebaliknya, kalau tidak, hidupnya tidak bergairah dan tidak semangat. Karenanya, orang semacam ini perhatiannya pada kedudukan dan jabatan melebihi yang lain karena disitulah kesenangannya. Ia senang kalau sudah dihormat orang karena posisinya, diperlakukan orang karena kedudukannya dan berpengaruh pada orang karena kekuasaannya. Sebagai potensi, orang jenis ini harus memiliki tahta atau jabatan agar gairah hidupnya terjaga.

Sama dengan benda, bila orang ini kesadaran agamanya rendah, kesadaran kemanusiaannya tipis, idealisme dan keimanannya tidak ada, maka ia akan menjadi orang yang celaka oleh tahtanya. Ia akan menjadi pencinta jabatan yang lupa diri, menghalalkan segala cara demi meraih kedudukan, menduduki jabatan dengan membeli, membayar dan mengeluarkan uang yang banyak. Bagi-bagi kedudukan dengan koleganya tanpa mempertimbangkan kualitas dan kepedulian orang, yang penting kelompoknya berkuasa dan ketika berkuasa ia pun semena-mena. Tidak menunjukkan kualitasnya sebagai pemimpin yang dihormati, pemimpin yang dihargai dan menjadi contoh bagi bawahannya.

Sebaliknya, bila hatinya bercahaya, kesadaran agamanya tinggi, tauhidnya terpelihara, mudah menerima nasehat, tawadhu dan kesadaran kemanusiaannya hidup, ia akan menjadi pemimpin atau pemangku tahta yang baik dan selamat dengan kekuasaannya. Ia akan memandang jabatan dan kedudukan tak lebih sebagai amanat, bukan prestasi. Ia tidak akan berani menduduki jabatan dengan cara-cara yang tidak halal atau tidak dibenarkan agama seperti bagi-bagi uang, mobilisasi massa, manipulasi suara dan sejenisnya.

Ketiga, Hawa
Ketiga, kekuatan moril hawa. Ada juga yang sumber kekuatan morilnya di hawa, yaitu pada pengembaraan cinta dan kesenangannya pada wanita dan kecantikan. Jatuh cinta adalah ciri orang ini. Kesenangannya pada keindahan cinta dan kecantikan perempuan menjadi energi penting yang menggerakkan dan membangkitkan semangat hidupnya. Bila tidak memiliki cinta turunlah semangat hidupnya. Tipe orang ini, kepuasan hidupnya bukan pada benda dan harta melainkan pada jatuh cinta yang dialaminya. Keindahan cinta dan kecantikan perempuan lebih dia senangi ketimbang megahnya harta. Jatuh cinta lebih ia jiwai dan nikmati ketimbang kekuasaan. Sebagai potensi, jiwa dan energi, moril hawa ini tidak akan surut atau hilang walaupun telah menikah, beristri dan memiliki anak yang sudah besar. Potensi hawanya akan terus bergerak dalam pengembaraan cinta. Energi cintanya besar melebihi yang lain yang bukan manusia hawa. Bila manusia benda dan tahta cinta besarnya pada harta dan jabatan, manusia hawa pada pengembaraan cintanya atau jatuh cinta yang dialaminya pada wanita.

Bila agamanya kuat, tipe ini akan menggunakan energi cintanya untuk mendekati Tuhan. Proses jatuh cinta yang dihayatinya bisa menjadi media komunikasi dirinya dengan Tuhan. Tokoh dunia manusia hawa yang telah mengalihkan  energi cintanya yang sangat dahsyat kepada Tuhan adalah seorang sufi besar yaitu Rabi’ah Al–‘Adawiyah yang melahirkan madzhab mahabbah di dunia tasawuf. Kepada Tuhan pun, ia bukan merasa menyembah melainkan cinta. Dan mahabbah-nya terkenal sangat indah dengan ungkapan-ungkapan cinta yang tiada tara, yang dalam pandangan syari’at bisa dianggap sesat. Jadi, cinta disini adalah energi dan jiwa, bukan perilaku atau perbuatan. Manusia hawa pasti banyak mengalami jatuh cinta dan akan terus mencintai sesuai tuntutan jiwanya. Tapi, itu belum tentu buruk, tergantung pengendaliannya, tergantung kemampuan mengarahkannya sesuai ajaran agama atau tidak. Karenanya, bila manusia hawa jauh dari agama, jauh dari ketaatannya kepada Allah, ia akan rusak dan jatuh menjadi pengejar hawa nafsu yang buruk. Ia akan mudah digelincirkan syetan untuk menjadi budak nasfu dan menumpuk dosa-dosa dengan mengejar-ngejar kepuasan birahi.

Keempat, Jasa
Keempat, kekuatan moril jasa. Orang tipe ini kekuatan morilnya terletak pada pengaruhnya terhadap orang lain. Banyak dari gerak hidupnya lebih diarahkan pada bagaimana dia menyimpan pengaruh pada orang lain, bagaimana ia menanam jasa pada orang lain kemudian suatu saat dipetiknya atau ditagihnya, bagaimana agar orang lain mudah digerakkan, dikendalikan, senang banyak pengikut dst. Tipe manusia jasa tidak selalu menjadi pemimpin, memiliki tahta atau menjadi pejabat, tapi ia senang menanamkan pengaruh pada orang dan pengaruhnya memang dirasakan dan diakui. Ketika menolong orang lain pun ia lebih menghayatinya sebagai simpanan jasa yang suatu saat bisa ditagih bila perlu. Ia menemukan kenikmatan hidupnya bila banyak pengaruh, banyak pengikut, bila kemauannya diturut dan langkahnya diikuti. Tipe orang seperti ini umumnya memiliki pengaruh pada lingkungannya karena disitu dia memiliki perhatian dan kemampuan. Ia rajin menanamkan jasa pada orang agar ia dikenal dan dikenang, agar ia didukung, agar namanya baik dan seterusnya.

Bila ia seorang yang taat beragama, bila agama mengandalikan hidup dan jiwanya, bila kesadaran agamanya bagus, hatinya bersih, maka pengaruhnya pada orang akan digunakan untuk yang baik-baik, yang positif, untuk dakwah dan mengajak manusia ke jalan Allah. Sebaliknya, bila hidupnya jauh dari agama, agama hanya dibibir saja, agama hanya status saja, kesadaran agamanya rendah, sifatnya keras kepala, keras hati dan susah menerima nasehat, maka pengaruhnya pun akan digunakan untuk yang buruk-buruk, mengajak orang pada keburukan. Puncak ia akan “dhallun wal mudhillun” (sesat dan menyesatkan orang).

Kelima, Cahaya
Terakhir, kekuatan moril cahaya. Cahaya adalah kekuatan moril yang bersumber pada agama, nilai-nilai luhur kehidupan, kebijaksanaan hidup dan keagungan moral. Orang ini, paling suka bila berurusan dengan urusan agama, nilai-nilai, ilmu, hikmah, perenungan dan sejenisnya yang semakin memperdalam pemahamannya dan kebijaksanaannya tentang kehidupan. Semangatnya tinggi dan menyala-nyala bila sudah berurusan dengan kegiatan meningkatkan kesadaran diri, meningkatkan ilmu, terlibat kegiatan dakwah, mengembangkan agama dan mengajak orang pada kebaikan dan kebenaran. Hidupnya diarahkan untuk agama dan keyakinan yang dianutnya. Agama dan nilai-nilai luhur kehidupan adalah penggerak hidupnya, charger jiwanya dan tujuan hidupnya. Ini adalah tingkat para nabi, para wali Allah, ulama, kaum shalihin, muttaqien dst.[]

Refleksi:
Lima kekuatan moril itu diciptakan Tuhan sebagain karakter alami yang berbeda-beda. Salah satunya kita miliki, nikmatilah dan ekspresikanlah secara wajar dan gunakanlah semakismal mungkin untuk amal kebaikan dan ibadah. Persoalannya adalah keseimbangan dan kesadaran agama. Keseimbangan dan kesadaran agama yang akan mengarahkan kekuatan moril seserang jadi baik atau buruk.

Anda manusia dengan kekuatan moril apa? Silahkan membaca diri masing-masing.

Salam,
Semoga bermanfaat!

(Dari Kitab Paradigma Hikmah Lima,
Mata Air Bening Jama’ah Taushiyah Syaghafan)

Leave a comment