Wajah (Intelektual) Islam Indonesia

Oleh Ibnu Ghifarie

 

Disadari atau tidak wajah Islam Indonesia memang unik dan sangat diperanguhi khazanah budaya setempat. Ini yang diakui oleh Clifford Geertz yang membandingkan Islam di Indonesia dengan Maroko. Hasilnya membuktikan adanya pengaruh budaya dalam memahami Islam. Untuk Indonesia Islam menjelma menjadi suatu agama yang sinkretik dan Maroko Islam mempunyai sifat yang agresif dan penuh gairah. Tentunya, perbedaan penampilan agama ini menunjukkan betapa realitas keyakinan sangat erat kaitanya dengan budaya (lingkungan) lokal.

Ibarat pasar raya penafsiran tentang ajaran (kebenaran) Islam Indonesia sungguh beragam. Ada ruko Islam Liberal dengan menampilkan pemikirna yang liberal, tidak boleh memaksakan kehendak, keyakinan, kepercayaan terhadap orang lain, mengakui Muhammad sebagai cerita masa lalu, hukum Islam tidak ada, memakai jilbab itu tidak wajib, isu-isu pluralisme, sekulerisme; Islam Fundamental dengan menampilkan pemikiran yang harus kembali kepada Al-Quran, Sunnah, menegakan syariah Islam; Front Pembela Islam yang giat memberantas kemaksiatan, perjudian, pornografi, menolak kehadiran Lady Gaga ke Indonesia, Jupe, Depe, Trio Macan ke Bandung; Teroris yang membenarkan aksi bunuh diri di tempat maksiat, rumah ibadah (mesjid, gereja) dan ruang publik; Islam moderat yang giat mengkampanyekan pentingnya kedamaian, kerukunan, di tengah-tengah kemajemukan suku, ras, etnis, agama, keperyanyaan yang ada di bumi nusantara ini.

Dalam buku “Sejarah Sosial Intelektual Islam di Indonesia” keragaman wajah Islam Indonesia bisa dilihat sekaligus dibedakan antara masuk dan pengaruh Islam Indonesia. Pertama, teori Arab Islam dibawa dan disebarkan ke Nusantara langsung dari Arab pada abad ke 7/8 saat kerajaan Sriwijaya mengembangkan kekuasaannya. Tokoh-tokoh teori ini Crawfurd, Keijzer, Niemann, Dehollandrr, Hasim, Hamka, Al-Alatas, Jajadiningrat, Mukti Ali, J.C Panler, T.W Arnold (h. 4-6). Kedua,  teori Cina, etnik Tionghoa muslim sangat berperan dalam proses penyebaran Islam nusantara. Ceng Ho kaisar Cina muslim dari dinas Timing yang melakukan ekspedisi maritim selama 48 tahun (h. 6-8). Ketiga, teori Persia menuju pada bukti-bukti sejarah adanya pengaruh Persia pada abad ke-11. Salah satu bukti pengaruh kitab Ajaib Al-Hin, yang ditulis oleh Buzurg Bin Sariar Al-Ramhurmuzi sekitar tahu 390/1000. (h. 8-9). Keempat, teori India pada adab ke-13 yang berasal dari Guzarat, Cambay, Malabar, Koromandel, dan Bengal. Pendukungnya Piznapel, Snouck Hurgronj, Moqtte, Marrison, Fatimi, Kern, Winsted, Pelekke, Gonad, Halchrieke (h. 9-10). Kelima, teori Turki islamisasi lain di ajukan oleh Martin Van Bruinesen yang di islamkan oleh orang-orang Kurdi. Kitab Tanwir Al-Kulub adalah karangan Muhammad Amin Al-Kurdi popular di kalangan Tarekat Naksabandiyah. Kedua tradisi barjanji popular di Indonesia dibacakan setiap Maulud Nabi (h. 10-11).

Menariknya karakter dan presentasi Islam di Nusantara itu menunjukan bahwa tradisi keislaman itu tidaklah monolitik. Dunia Islam adalah sebuah konfigurasi berbagai kelompok etnis, tradisi, kebudayaan, struktur masyarakat, sistem politik, khazanah pemikiran dan seterusnya. Ketika masing-masing unsur dalam konfigurasi ini menampilkan mozaik budaya berbasis perjalanan sejarahnya sendiri-sendiri (historical track line) dalam sebuah (kawasan) bangsa Muslim, saat yang sama ia sedang mempresentasikan dirinya di atas panggung drama sejarah. Presentasi yang menampilkan unsur-unsur kekhasan sebuah (komunitas) bangsa harus difahami dengan baik. (h.ix).

Ini yang disayangkan oleh Yudi Latif dalam Kata Pengantar buku ini. Masalahnya, presentasi sering ditampilkan tidak utuh atau tidak akurat karena dua hal: Pertama, keterbatasan bahasa mewakili semua denyut nafas kehidupan, kedua, presentasi diwakili oleh hanya satu atau beberapa orang pembicara. Mereka adalah kelompok elit intelektual yang menjadi juru bicara atau nara sumber yang menjelaskan masyarakatnya. Panggung kehidupan yang banyak nuansa dan berjuta warna sering terlalu luas dari apa yang mampu dijelaskan oleh sekelompok kecil elit intelektual. Dari sini, pertanyaan muncul dari laci ingatan, apakah penggambaran masyarakat oleh kaum intelektual seperti terekspresikan dalam wacana arus utama, polemik di media massa dan tumpukan rak-rak literatur benar-benar absah merepresentasikan realitas yang sesungguhnya? Sejauh mana kaum intelektual cukup objektif merepresentasikan masyarakatnya? Seperti diingatkan Wilfred Cantwell Smith, sejauh mana publik yang dijadikan objek wacana ‘mengaminkan’ pandangan-pandangan kelompok elit yang menyuguhkan penggambaran tentang diri mereka? Jawaban pertanyaan ini berkaitan dengan ‘siapa mewakili siapa.’

Sebagai zoon politicon yang dibesarkan dalam kultur, struktur sosial dan relasi-relasi kuasa yang tidak sama satu sama lain, kaum intelektual pada kenyataannya hidup dalam blok historisnya sendiri-sendiri. Parahnya, bila presenter itu adalah kaum intelektual komprador yang mengusung ideologi partisan dan terjebak pada pengkhianatan fungsi dirinya. Karenanya, tak mengherankan bila presentasi kaum intelektual sering hanya merupakan ekspresi kepentingan kelompok yang digelayuti nafsu vested-interest terutama ketika mereka berada dalam konflik atau polemik dengan lawan-lawannya. Maka, presentasi kaum intelektual semakin tidak utuh dan tidak representatif menggambarkan masyarakatnya. Inilah yang sering menyebabkan deskripsi-deskripsi teoritis kaum intelektual atau cendekiawan sebuah masyarakat sering jauh berbeda dengan realitas yang sesungguhnya hidup dalam masyarakat. (h. x).

Di sisi lain, faktor-faktor referensial tak terhindarkan mempengaruhi kaum intelektual dalam menggambarkan masyarakatnya. Pengetahuan bukanlah sebuah medium yang netral karena dipengaruhi oleh posisi, ideologi, emosi, kepentingan, pilihan sadar dan bacaan yang menjadi referensi tindakan dan cara berfikir seseorang. Penggambaran drama kehidupan melalui pengetahuan yang tidak netral jelas merupakan sebuah distorsi.

Atas kanyataan ini, deskripsi kaum intelektual tentang sebuah masyarakat harus serta merta diikuti dengan daya kritis, eksplorasi dan pengujian. Kultur akademik kadung mentradisikan bahwa legalitas pengetahuan bersumber dari deskripsi dan rumusan-rumusan yang dibuat kaum intelektual melalui kesimpulan-kesimpulan fenomenologis dari gejala-gejala empiris yang terlihat dan terukur.

Padahal, pengetahuan kehidupan (human science) jelas terlalu sederhana bila didasarkan hanya dari gejala-gejala empiris dan terukur sebagaimana telah menjadi norma dan konvensi ilmiah selama ini. Sementara arus bawah masyarakat manusia (under social stream) adalah sebuah kompleks keyakinan, ide-ide, harapan, cita-cita, keputus-asaan, frustrasi, kemarahan dan sebagainya yang tidak terjangkau teori.

Kesalahan membaca masyarakat sering terjadi karena kita selama ini menjadikan rumusan-rumusan fenomenologis kaum intelektual sebagai referensi utama. Konvensi ilmiah memperburuk kenyataan ini dengan kredonya bahwa pengetahuan yang absah adalah teori yang sudah mapan atau pernyataan-pernyataan para pemikir terkenal. Sumber pengetahuan yang benar dan dapat dipegang adalah yang sudah teruji di meja-meja akademis dan tumpukan karya-karya kaum intelektual di rak-rak perpustakaan. (h.xi)

Tampilnya para pemikiran (cendikiawan) Islam Indonesia seperti Harun Nasution, Cak Nur, Gus Dur, Kuntowijoyo, Amin Rais, Jalaludin Rahmat, yang mencoba menyuguhkan keislaman Indonesia nampaknya belum membangun tipologi (kontruksi aliran-aliran) dan baru sebatas kajian atas pemikiran idividual serta topik pemikiran tertentu.

Selama ini, kita mengenal rekontruksi aliran dengan definisi klasifikasi katagorisasi dan penyebutan tokoh-tokohnya paling tidak ada dua. Pertama, Fahri Ali dan Bahtiar Effendy, dalam buku Merambah Jalan Baru Islam: Rekontruksi Pemikiran Islam Masa Orde Baru(Mizan, 1986). Rekontruksi ini menghasilkan empat tipologi Pemikiran Islam, yaitu neo-medernisme Islam, sosialisme demokrasi Islam, internasionalisme, dan universalisme serta modernism Islam. Kedu, M. Syafi’i Anwar  dalam buku Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia (Paramadina, 1995). Hasil pengamatannya adalah enam tipologi pemikiran politik Islam cedikiawan Orde Baru yang lebih variatif, yaitu formalistik, substantivistik, transformatik, totalistik, idealistik,dan realistik.(h. 144-145)

Bagi Moeflich menguraikan rekonteruksi yang dibangun Fahri-Bahtiar dan Syafi’i Anwar mengandung kelemahan, sehingga sulit dipertahankan karena dua alasan. Pertama, orang sering berpikir dangkal tentang satu perspektif karena perspektif merupakan pilihan yang sangat dipengaruhi situasi. Kedua, seperti kaul kodim dan kaul jadidnya Imam Syafi’i selalu ada perubahan karena subtansi pemikiran Islam adalah pencarian kebenaran terus menerus.(h. 146)

Dalam pergulatan tipologi ini, Moeflich menawarkan lima paradigma berbasis karakter yang berbeda dan melandasi pemikiran Islam di Indonesia. Pertama,Konsefisme-Teoritisadalah aliran pemikiran yang berbasis pada konsep. Kebenaran ada pada konsep teori dan hasil riset daripada faktor sosial yang hidup sebanarnya. Ini yang dilakukan oleh Saiful Muzani Direktur Lembaga Survei Indonesia (LSI) pada saat pemilu 1999, 2004 dan 2009. Dari survei perolehan suara di tingkat Provinsi dan Kabupaten dengan metode quick count. (h. 147-150). Kedua, Refleksionisme-Emansipatoris, pemikiran yang berbasis pada refleksi dan pengamatan kehidupan sosial terutama pendekan konflik. Ini yang sering dilakukan Yudi Latif. (h. 150-152). Ketiga, Jurnalisme-Historis, aliran pemikiran yang basisnya menonjol (kuat) pada bahasa dan roh jurnalistik. Ini yang sering dilakukan Azyumardi Azra. (h. 152-153). Keempat, Aktifisme-Praktis, aliran pemikiran yang basisnya lebih pada pengamatan perjuangan sosial dan politik praktis. Ini yang sering dilakukan oleh Eef Saifullah Fatah dan Andi Malarange.  (h. 154). Kelima, Dokumentalisme-Bibliografis, aliran pemikiran yang basisnya kuat pada kemampuan dokumen kutipan-kutipan, mengumpulkan pendapat dan parade rumusan-rumusan orang yang tuliskanya secara gesit dan lincah. Ini yang terjadi pada Jalaludin Rahmat dan Dawam Raharjo. (h. 154-155).

Meskipun, Yudi Latif mengakui gagasannya tentang tipologi baru pemikiran Islam Indonesia cukup orisinal. Namun, Yudi menyarankan perlu dikembangkan dengan penelitian yang lebih mendalam, ia membangun sebuah tipologi baru aliran berdasarkan paradigma basis pemikiran kaum intelektual. Ini belum pernah dilakukan di Indonesia. Lain kata, dalam buku yang tampaknya merupakan rekaman pengembaraan pemikirannya ini banyak ditemukan gagasan-gagasan cukup kritis dan segar yang selama ini tidak mengemuka dalam wacana Islam Indonesia. (h. xiii)

Buku ini terdiri dari enam bab. Pertama, Sejarah, Politik, dan Islamisasi. Kedua, Sosiologi Islam Indonesia. Ketiga, Wacana Pemikiran Islam. Keempat, Reflektif Pisiko-Sosial Islam Indonesia. Kelima, Islam, Budaya dan Problem Modernitas. Keenam, Suplemen : Kajian Islam Global.

Membaca buku ini akan menambah wawasan kita yang berusaha menjelaskan dan mendiskusikan tema-tema keislaman Indonesia dalam ragam persoalan (proses Islamisasi, peranan ulama dalam sejarah, kelas menengah Muslim, sekularisasi, pluralisme, terorisme, Islam liberal, pornografi) dan melihatnya dari berbagai sisi (sejarah, sosial, politik, psikologis dan budaya).

Ini semua karena pembahasan buku bersifat tematis, variatif, deskriptif, informatif, orisinal dan berusaha mengkritisi persoalan-persoalan psikososial yang menjadi diskursus publik. Selamat membaca!

Buku : Sejarah Sosial Intelektual Islam di Indonesia
Penulis : Moeflich Hasbullah.
Kata Pengantar : Dr. Yudi Latif.
Editor : Drs. Beni Ahmad Saebani, M. Si
Cetakan : 1
Tahun : April 2012
Penerbit : Pustaka Setia
Halaman : XVIII+392
ISBN : 978-979-076-188-9
IBN GHIFARIE, Mahasiswa Pascasarjana UIN SGD Bandung Program Religious Studies dan peneliti Academia for Religion and Social Studies (ARaSS) Bandung.

Resensi lain, lihat Harian REPUBLIKA:
http://www.republika.co.id/berita/senggang/review-senggang/12/06/06/m56k1s-mengkaji-islam-indonesia-dari-berbagai-sisi  

Leave a comment