Erotika Inul dan Freudianitas Masyarakat Kita

Oleh Moeflich Hasbullah

(Refleksi ini ditulis saat kontroversi Rhoma Irama dengan Inul Daratista ramai dibicarakan. Mengingat soal erotisme di panggung publik masih akan terus hangat dan akan terus aktual, dan mengingat para pembela kebebasan otonomi tubuh atas nama demokrasi juga masih pada hidup, tulisan tentu saja tetap aktual).

a

Inul Daratista adalah sebuah fenomena. Penyanyi lugu asal Pasuruan Jawa Timur yang terkenal dengar goyang negebornya itu telah menjadi besar. Dibesarkan oleh apa? Oleh dua anak kapitalisme: industri hiburan modern dan media massa (terutama televisi). Industri hiburan modern berorientasi meraup keuntungan sebesar-besarnya dengan menjual hiburan. Apa dan siapa saja yang bisa memberikan keuntungan untuk mengembangkan kapital dan kerajaan bisnisnya pasti akan mendapat dukungan, ekspos, dorongan sekaligus eksploitasi. Maka, tidak heran kalau aktor-aktor di belakang industri hiburan modern (pemilik modal, artis-selebritis, pemasok iklan dll) akan berjuang mati-matian untuk membela apa saja yang bisa membesarkan industri dan kapitalnya. Sebagai industri yang berorientasi bisnis dan keuntungan, persoalan-persoalan moral dan dampak negatif atau positif terhadap perilaku masyarakat tak pernah jadi perhatian alias nomor kesekian. Dan konsern moral adalah orientasi terbalik dari dunia bisnis modern. Konsern moral pasti akan menghambat perkembangan dunia bisnis hiburan itu sendiri yang selama ini didominasi oleh nilai-nilai kapitalistik dan sekuler. Bagi industri hiburan modern, “ruh” dan misi utamanya adalah menghibur. Apapun yang bisa menghibur masyarakat –tak peduli negatif atau positif— akan disuguhkan pada masyarakat. Dengan penyuguhan hiburan yang “bebas nilai” itu, industri hiburan merasa telah berbuat “yang terbaik” buat masyarakat. Anak kapitalisme lain adalah pers, pers sebagai industri. Dalam industri pers dikenal adagium “a good news is not news” (berita yang baik bukanlah berita). Karena itu pers akan terus berusaha untuk mengekspos apa saja yang bakal menarik perhatian untuk konsumsi masyarakat. Seperti halnya industri hiburan, industri pers pun menjadikan masyarakat sebagai obyek utamanya. Bila industri hiburan menghibur masyarakat, industri pers “memberitakan” masyarakat. Industri hiburan menyuguhi masyarakat dengan hiburan, industri pers menyuguhi masyarakat dengan berita. Sebagai bisnis dan industri, pers juga harus laku jualan berita. Jualan yang laris adalah berita mass culture (kebudayaan massa untuk memenuhi selera masyarakat). Pers yang bermartabat dan memiliki idealisme akan mempertimbangan aspek-aspek pendidikan, moral dan pencerahan masyarakat. Pers yang tak bermartabat, tak memiliki idealisme dan orientasinya adalah bisnis dan keuntungan akan menjual apa saja tanpa memperhatikan aspek-aspek tersebut.
Dalam setting sosio-kultural seperti inilah Inul Daratista, Anisa Bahar dan “inul-inul lain” dibesarkan, dalam setting sosio-kultural seperti ini juga lah kita semua masyarakat Indonesia hidup. Dalam psikologi masyarakat Indonesia yang sedang diliputi serba ketidakpastian, keterpurukan ekonomi, frustrasi terhadap elit-elit politik dan kekuasaan, krisis kepemimpinan, ambruknya nilai-nilai moral masyarakat, makin menjangkitnya permisifisme, agama yang semakin tersingkir dan tersudut ke wilayah-wilayah privat, inferioritas ideologi dalam bentuk betapa kerennya berfikir dan bersikap atas nama demokrasi dan hak azasi, bagi industri pers dan hiburan modern, Inul Daratista dengan pinggulnya yang molegh, goyangnya yang birahistik, geraknya yang erotis, adalah santapan empuk dunia bisnis, santapan rohani masyarakat kita yang sedang terjangkit krisis moral, konsumsi lezat kita yang tengah –sadar atau tidak sadar– mengalami kekeringan dan kegersangan spiritual. Goyang birahi Inul adalah aset mahal yang pasti laku di pasaran dan akan membesarkan bisnis industri hiburan modern. Stasiun televisi meraup keuntungan sangat besar dari gelinjang lekuk tubuh Inul dan Anisa Bahar yang hampir telanjang. Dengan kata lain, fenomena Inul bukan Inul sendirian. Inul adalah korban eksploitasi sistem industri hiburan modern. Eksploitasi ini sangat menguntungkan. Karenanya, dapat dimaklumi bila pembelaan terhadap goyang Inul cukup marak datang dari insan-insan yang diuntungkan oleh industri hiburan modern, dari pribadi-pribadi yang selama ini makmur dari hingar-bingar glamor kehidupan selebritis. Begitu hegemoniknya industri hiburan ini dan kepiawaiannya memanfaatkan isu-isu kebebasan, kreatifitas dan hak azasi, sebagian kalangan komunitas agama, ibu-ibu dan “kelompok idealis” bahkan turut berdiri menjadi pembela-pembela mafia industri hiburan modern dan –secara tak sadar— turut mendukung gerakan pemuasan nafsu dan hasrat erotis masyarakat dengan membela dan memaksa (mengeksploitasi) Inul agar tetap mempertahankan goyangannya yang erotis itu.

Naifnya Argumen Pembelaan Goyang Inul
Kalangan industri hiburan sekuler, sebagian artis-selebritis, pemilik modal, pemasok iklan, sebagian seniman dan siapa saja penggemar dangdut yang hasrat seksualnya dipenuhi oleh goyang erotisnya Inul menghayati kasus pencekalan Inul yang dimotori Rhoma Irama dan kawan-kawannya sebagai sebuah penindasan ekspresi, pemasungan kreatifitas, pelanggaran hak azasi dan berlawanan dengan nilai-nilai demokrasi. Atas nama semua ini, Inul harus dipertahankan agar tetap bebas untuk meliuk-liukan pinggul dan lekuk-lekuk tubuhnya. Beberapa argumen pembelaan telah mengemuka. Sebagai anak manusia yang mencari penghidupan dengan mengekspresikan kemampuannya, Inul tidak salah. Yang salah adalah goyangnya yang erotis dan mengundang birahi itu dianggap benar dan harus dipertahankan di alam Indonesia yang menganut agama. Tulisan ini akan membedah kekeliruan-kekeliruan argumen bahwa goyang Inul harus dipertahankan. Banyak argumen yang mengemuka –yang seolah benar dan logis– padahal keliru dan menyesatkan dari aspek logika kebenaran itu sendiri.

Pertama, argumen bukan erotisme. Goyang ngebor Inul itu tidak erotis. Tergantung orangnya. Hanya mereka yang berfikir ngeres saja yang melihat itu sebagai gerakan erotis yang membangkitkan gairah birahi. Ungkapan ini seperti benar padahal menyesatkan. Istilah “ngebor”-nya saja yang kita bakukan buat goyangnya dia sebetulnya mengukuhkan bahwa Inul bergoyang lebih dari sekadar erotis tapi “ngebor.” Ngebor apa? Apa asosiasi kita ngebor tembok, kayu, besi, atau pantai? Kan tidak mungkin. Konteksnya pasti ngebor seksual alias alat vital lawan jenis. Oleh pinggul, pantat dan “itu”-nya Inul yang berputar meliuk-liuk ke atas dan ke bawah garis lurus, apalagi yang “di bor” kalau bukan dalam konteks seksual? Dari mana kita mengatakan itu adalah seni yang menggugah rasa? Pinggul, pantat dan kemaluan adalah kesatuan wilayah inti seksualitas manusia. Apa ada goyang pinggul dan pantat lalu konteksnya di luar konteks seks? Ngebor minyak Pertamina? Lalu ketika konteksnya pasti seks, darimana kita mengatakan bahwa itu tidak erotis? Adalah mustahil kita melihat goyang gaya Inul dan Anisa Bahar yang vulgar lalu fikiran kita asosiasinya ke seni, keindahan, keagungan, keluhuran, filsafat. Naif! Ketika kita menikmati goyangnya “ibarat kuda lumping” seperti dikatakan sebagian orang, kita sedang menikmati penghinaan dan eksploitasi atas dirinya sebagai kuda. Ketika mata, fikiran dan emosi masyarakat diarahkan ke nuansa seks oleh goyangnya Inul, ketika itu masyarakat diajak berfantasi, melamun ria. Respon gairah sensual penonton (dalam bentuk suka biasa sampai terangsang) adalah reaksi biologis alami dari model goyang ditunjukkannya. Bagaimana mungkin orang disalahkan mengkhayal ngeres kalau itu adalah respon biologis yang alami? Salah satu dampaknya misalnya adalah perkosaan terhadap anak SD di Surabaya setelah nonton VCD goyang Inul. Sikap dan berfikir ngeres sebagian masyarakat kita juga adalah realitas masyarakat yang real. Berarti berfikir ngeres itu ada dan itu kenyataan. Disitu goyang Inul, kru SCTV dan para artis pendukung Inul turut berperan memasyarakatkan sense of ngeres menjadi nilai-nilai biasa agar diterima oleh masyarakat secara luas. Yang merasa tidak ngeres memaksa orang lain untuk sama dengan dirinya agar tidak ngeres, selain mustahil itu adalah sikap tirani, otoriter dan hegemonik masyarakat kita terhadap sesamanya.

Kedua, yang erotis bukan hanya Inul, banyak yang lebih parah dan “gila” dari goyang ngebor dia. Mengapa yang lain dibiarkan? Ini adalah kekeliruan berfikir yang kedua. Betul yang erotis bukan hanya Inul, betul juga yang lebih parah dari dia banyak sekali. Tapi bukan berarti pencekalan terhadap goyang erotis Inul harus disalahkan. Erotisnya Inul itu di layar kaca, ditonton oleh jutaan pemirsa di rumah-rumah, di sekolah-sekolah, oleh jutaan keluarga dan jutaan anak-anak Indonesia. Oleh siapa dipertontonkan? Oleh aktor-aktor industri hiburan modern yang tak bertanggung jawab pada moralitas bangsa, yang penting mengeruk keuntungan bisnis dan uang. Disitu Inul diekspolitasi. Memang banyak dan menjamur ratusan penampilan erotis dan sensual yang lebih parah dari sekadar goyangnya Inul tapi itu tersembunyi di nite-club, diskotik-diskotik, di cafe-café, hiburan remang-remang dan tempat-tempat mesum yang penontonnya terbatas dan yang hadir memang orang-orang yang butuh dan penggemar hiburan syahwat. Dampak negatif dari eksploitasi seksual yang tersembunyi ini hanya pada pengunjung dan penggemar, tapi dampat destruktif dari goyang erotisnya Inul di layar-layar TV akan lebih luas dan lebih parah masuk ke ruang keluarga-keluarga Indonesia. Bila nurani kita masih hidup kita mungkin mengatakan bahwa semua bentuk kemaksiatan dan eksploitasi seksual itu sesungguhnya harus dihentikan. Tapi itu hanya bisa dilakukan satu per satu, secara bertahap. Nah, yang sudah dilakukan, seperti pencekalan goyang Inul, tidak berarti harus disalahkan. Itu adalah penyelesaian dari sekian banyak penampilan erotis yang merusak masyarakat. Betul, pemberantasan, kalau mau dilakukan, harus dari dasar, dari sumber, dari akarnya, tetapi usaha penghentian yang sudah tetap bermanfaat, apalagi yang berdampak luas karena ditayangkan di TV-TV. Jadi persoalannya, bukan soal sikap munafik atau bukan, adil atau bukan, tapi usaha penyelesaian gejala destruktif masyarakat yang diselesaikan satu persatu sesuai kemampuan. Sekarang ini, dalam masyarakat kita, gejala kerusakan moral seksual sangat banyak dan sangat parah, dan seing kita tidak berdaya mengatasinya, apalagi kita juga tidak berperan didalamnya. Dalam kondisi seperti ini, minimal kita tidak ikut mementahkan dan mematahkan kontrol sosial yang sudah dilakukan orang lain. Sudah tidak berdaya dan tidak berperan memerangi kerusakan masyarakat, membela pula. Saya yakin, nurani kita menyalahkan sikap seperti ini. Bila sebuah hadits Nabi mengatakan bahwa pengutukan dalam hati, ketidaksetujuan dalam batin terhadap kejahatan dan kemungkaran adalah ekspresi lemahnya iman, bagaimana dengan sikap persetujuan dan pembelaan?.

Ketiga, argumen pemasungan kreatifitas. Alasan lain yang diusung oleh para pendukung erotisme Inul adalah pemasungan kreatifitas. “Pencekalan terhadap Inul adalah pemasunan kreatifitas, dan itu berlawanan dengan hak-hak azasi manusia!” Argumen ini sangat lemah. Sebagai bangsa yang berdaulat, merdeka dan beradab, kreatifitas harus dibatasi dalam kerangka nilai-nilai yang dianut dan disepakati dalam sebuah bangsa, bangsa Indonesia. Seperti hal nya kreatifitas di negara-negara lain juga dibatasi oleh nilai-nilai bangsanya sendiri. Berbicara tentang pedoman nilai-nilai bangsa Indonesia hanya dua : agama dan Pancasila. Agama apapun di Indonesia tak mengajarkan sensualitas dan erotisme dipertontonkan dimuka umum. Pancasila mengajarkan “kemanusiaan yang adil dan beradab.” Seperti hal nya agama, “kemanusiaan yang beradab” juga tak akan mengizinkan sensualitas dan erotisme dipertontonkan dimuka umum. Jadi kreatifitas di Indonesia tidak bebas nilai, harus mengacu pada nilai agama masing-masing dan nilai kesepakatan bangsa yaitu Pancasila. Dalam keduanya, tak ada ruang untuk kebebasan murni, kebebasan tanpa batas, kebebasan yang potensial merusak masyarakat. Demokrasi di Indonesia harus Demokrasi Indonesia bukan Demokrasi Barat, karena kita hidup di Indonesia dan hidup dengan nilai-nilai bangsa Indonesia. Nah, nilai apalagi yang mau kita pakai? Batasan kreatifitas mana yang akan kita acu?

Keempat, pembelaan terhadap goyang erotis Inul yang paling keren adalah dipakainya logika demokrasi. Tapi sayang, para penggemar erotisme itu terjebak dalam kesempitannya sendiri dalam memahami demokrasi. Pencekalan Inul dianggap tidak demokratis karena main larang-larangan oleh masyarakat. Konsekuensi dari demokrasi adalah rakyat atau masyarakat sipil secara individu atau kelompok memutuskan sendiri apa yang menjadi pilihannya, tidak diatur-atur oleh pemerintah. Rhoma Irama dan kelompoknya jelas-jelas warga masyarakat sipil yang memutuskan pilihannya sendiri yaitu menggunakan hak pribadi dan hak azasinya untuk tidak menginzinkan lagu-lagunya dinyanyikan Inul. Itu menyangkut hak cipta. Sikap Rhoma justru menunjukkan ekspresi alam demokrasi dimana kekuatan-kekuatan sipil saling berinteraksi dan saling mempengaruhi tanpa ada intervensi pemerintah. Soneta dan PAMI (Persatuan Artis Melayu Indonesia) adalah organisasi sipil yang mempunyai hak-haknya yang harus dihargai termasuk memutuskan sikapnya yang berhubungan dengan anggotanya, kelompoknya maupun masyarakat luas. Disini lah, pembelaan terhadap Inul dengan memakai logika demokrasi menjadi lucu, aneh dan rapuh. Kemudian, tampaknya demokrasi difahami sebagai tidak boleh adanya larangan dalam kehidupan sosial. Padahal, di Amerika Serikat saja, negara yang sering menjadi acuan kematangan nilai-nilai hukum dan demokrasi, pemerintah banyak mengeluarkan larangan-larangan berkenaan dengan kehidupan masyarakat sebagai tanggung jawab pemerintah. Menurut pengamat media, Ade Armando, acara-acara TV di Indonesia jauh lebih bebas dan liberal daripada di Amerika Serikat sendiri. Pemerintah Amerika melarang pemutaran film-film seperti Baywatch dan Dawson Creek karena dianggap vulgar dan tidak mendidik generasi muda. Tapi, di Indonesia, film-film itu malah bebas ditayangkan tanpa ada larangan. Sebetulnya, negara semakin suprematif di bidang hukum, larangan-larangan semakin banyak dan hukum-hukum pun semakin kuat dan di taati selama yang mengeluarkannya adalah yang berwenang yaitu pemerintah.

Kelima, argumen korupsi bangsa. Para penggemar dan pendukung Inul, menarik kasus goyang ngebor “yang kecil dan biasa-biasa saja” pada moralitas bangsa dan merebaknya fenomena korupsi yang parah. Mereka mengatakan, Inul hanya bergoyang dipermasalahkan, para koruptor yang jelas-jelas merusak bangsa dibiarkan. Ungkapan ini tampak seperti benar tapi berbahaya. Ini adalah bentuk pembelaan terhadap kesalahan dengan berlindung pada kesalahan lain yang lebih besar. Rasionalisasi para penikmat goyang birahi Inul untuk berlindung di bawah kasus yang lebih besar yaitu korupsi. Ungkapan di atas seperti “sedang berargumen” padahal kenyataannya “sedang bersembunyi.” Benar bahwa korupsi itu lebih berbahaya, lebih merusak. Tapi, sifat merusaknya korupsi jangan dijadikan alasan untuk membela kesalahan dan keburukan yang lain. Perilaku yang merusak masyarakat itu banyak dari mulai supir angkot yang berhenti seenaknya, mencopet duit receh, menyogok untuk jadi pegawai negeri, sampai korupsi tingkat negara. Bangsa kita adalah bangsa yang lemah dalam penegakkan hukum. Korupsi tidak tahu kapan akan lenyap dari negeri ini. Fenomena korupsi susah untuk diberantas. Kita jangan menunggu dihapuskannya kemungkaran dan kejahatan yang kecil-kecil dengan menunggu yang besar dulu untuk dibereskan. Berjalan alami saja, mana yang sanggup kita lakukan ya kita lakukan, yang besar kita terus dorong pemerintah untuk memberantasnya. Apa kita tidak akan menegur, membiarkan atau bahkan membela anak-anak kita mencuri hanya karena korupsi para pejabat negara masih merajalela? Para koruptor harus diberantas, tapi goyang Inul juga harus diluruskan agar masyarakat kita tidak menjadi biasa dengan eksploitasi erotisme dan hasrat birahi yang dipublikasikan.

Kembali ke Freud
Walhasil, pembelaan terhadap goyangan erotis Inul oleh siapa pun penggemarnya sesungguhnya tidak berdasar. Yang mereka pertahankan sebenarnya bukan persoalan hak azasi, kreatifitas dan kebebasan demokrasi. Argumen-argumen itu terbukti lemah. Tanpa disadari, pembelaan yang marak itu sebenarnya hanya mengukuhkan teori psikoanalisa Freud atas masyarakat bahwa aspek biologis yaitu hasrat seksual yang terripresi oleh hegemoni struktur sosial, budaya, politik dan ekonomi –di bawah sadar– adalah pendorong dan motivasi utama dari tindakan-tindakan manusia. Dari perspektif Freudian, pembelaan kita terhadap Inul lebih merupakan hasrat biologis yaitu dorongan seks, hanya kita sendiri tidak sadar. Hasrat biologis kita, di alam bawah sadar, telah dipuaskan dan ditentramkan oleh goyang erotisnya Inul yang meliuk-liuk mengundang nafsu birahi. Karena kita puas dan menemukan kenikmatan alami, kita sebagai makhluk biologis, sama dengan hewan, menjadi marah bila hal itu diganggu. Tetapi, selain makhluk biologis, manusia juga adalah makhluk etis yang memakai pertimbangan etika dalam melakukan interaksi sosial. Agar tampak manusiawi, kemarahan itu, secara tak sadar, kita bungkus oleh topeng-topeng hak azasi, kreatifitas dan demokrasi. Hasrat seksual yang dilarang itu pula lah –juga secara tidak sadar—yang menjadi dasar ketidaksukaan, kebencian kita pada Rhoma Irama yang mencekal Inul.
Sebenarnya, belakangan teori psikoalanisa Freud sudah semakin pudar dan terbantah seiring dengan kemunculan beberapa kritiskusnya yang tajam seperti Erich Fromm, Carl Jung, Karen Horny, Harry Stack Sullivan, Alfred Adler, dan David Rapaport. Barisan orang-orang ini yang tergabung ke dalam Neo-Freudians telah membantah bahwa bukan hanya dorongan seks yang menjadi motivasi tindakan manusia. Ketimbang dorongan biologis, hasrat seksual yang terpendam, faktor-faktor sosial budaya lebih mempengaruhi tindakan-tindakan kita sebagai manusia Tapi, oleh maraknya fenomena pembelaan terhadap goyang Inul, rupanya tesis Freud malah menemukan pembuktiannya lagi di Indonesia yang konon sebagai masyarakat relijius. Freud harus kita akui lagi kebenarannya. Masya Allah!!!***

Leave a comment