Andai Para Mubaligh Seperti Ini ..!!

Moeflich Hasbullah

a

Awal Juli 2009, sahabat saya yang istimewa, untuk menjaga kebersihan hatinya, sebut saja Ahmad, tidak usah nama aslinya. Ia memberikan ceramah kepada jama’ahnya seperti biasa. Kali ini di daerah Sukabumi. Seperti biasa pula, jama’ahnya banyak yang menangis berurai air mata mendengarkan nasehat-nasehatnya yang menyentuh. Pulang ceramah, seperti umumnya mubaligh, ia diberi  amplop dengan jumlah cukup besar, Rp. 1,5 juta. Saat melihat amplop itu disodorkan, Ahmad merenung. Seperti biasa, ia tak mau dibayar. Hatinya mengatakan salah mendapat uang dari kegiatan dakwah, pengajian dan dari memberikan nasehat pada orang lain. Berdakwah mengingatkan orang pada kebaikan adalah kewajiban setiap Muslim. Mengapa harus dibayar? Yang ia paling takuti, Syetan tanpa terasa akan membelokkan niatnya berdakwah menjadi mencari uang. Syetan akan merusak keikhlasannya melalui uang. Itu pasti, dan jarang orang lulus dengan ujian itu. Tapi Ahmad tidak mau itu terjadi pada dirinya. Ia sangat menjaga niatnya. Ia tidak menganggap sepele urusan niat. Karena niatnya salah sedikit saja, melenceng dari keikhlasan, ia akan masuk ke dalam jebakan syetan yang susah dilawan. Ahmad merasakan hatinya berbicara pada dirinya:

“Ahmad, coba lihat dirimu, kamu masih muda, sehat, punya kaki yang bisa dipakai untuk berjalan. Walaupun tidak punya pekerjaan tapi selama ini kamu belum pernah kelaparan. Walaupun uangmu di saku sekarang hanya Rp. 15 ribu, bukankah Allah selama ini mencukupi rizkimu? Bukankah banyak orang yang lebih membutuhkan uang itu dibandingkan kamu? Kalau pun butuh, apa tidak malu menerima uang dari masjid? Dari nasehat-nasehat agama yang kau berikan? Bila kau menceramahkan agama, memberikan nasehat tentang keharusan ikhlas dan ketakwaan, apakah kamu sendiri sudah melaksanakannya? Bukankah engkau harus melakukan dan mencontohkannya apa-apa yang engkau ceramahkan?”

Renungan seperti itu selalu ia lakukan bila ceramahnya ada yang membayarnya. Setelah merenung begitu, ia selalu tak sanggup menerima amplop berapa pun besarnya walaupun saat itu hanya ada beberapa rupiah uang disakunya. Ia selalu merasa malu kepada dirinya dan kepada Allah. Ia menyadari betul, memberikan nasihat dan pengajian bukan untuk mencari uang. Rezekinya yakin sudah ditanggung oleh Allah ia tapi tidak mau mendapatkannya dari berdakwah. Ia merasa dirinya naif bila menerimanya. Ia juga merasa bila menerimanya berarti ia memakan uang masjid, ditambah ada orang-orang yang memaksakan iuran mengumpulkan uang honor tersebut. Ia paling tidak mau itu.

Kalau pun masjid itu uangnya banyak karena berada di tempat elit, ia merasa tetap saja hatinya yang akan mudah berbelok tanpa terasa, menjadi senang menerima uang. Itu bisa melenakan hatinya. Ia bisa tidak mau berdakwah karena tidak dibayar. Dan itu naif. Ia merasakan malu menghubungkan uang dengan keharusannya saling menasehati. Bagaimana bila sebuah masyarakat butuh nasehat dan siraman ruhaninya, tapi tidak jadi gara-gara tidak ada uang untuk membaya honor penceramahnya? Haruskan saling menasehati terhalang oleh ketiadaan honor buat si penasehat? Mengapa saling menasehati dan mengingatkan kebenaran jadi urusan uang? Yang membuatnya kesel lagi, kebetulan, kondisi masjid itu tidak terlalu bagus bahkan ada beberapa bagian yang rusak. Tapi mengapa untuk dirinya uang itu dipaksakan ada tapi untuk memperbaiki masjidnya sendiri tidak diusahakan?

Ahmad memanggil staf DKM dan jama’ahnya yang belum pulang. Ia memberikan renungan dan menyadarkan jama’ah tentang kondisi masjid. Yang berhak diberi uang itu bukan dirinya, tapi masjid itu yang harus diperbaiki. Mengapa mereka memaksakan membayar dirinya, sementara bagian masjid ada yang rusak tidak diperbaiki? Amplop itu pun ia minta untuk memperbaiki masjid. Jama’ah merasa malu mendengarnya ada mubaligh hatinya semulia itu. Sudah pengajiannya menyentuh, tidak mau dibayar lagi. Dan pada jam itu ternyata terkumpul Rp. 2,5 juta untuk dana awal memperbaiki masjid.

Saat pulang, jama’ah mengantarkannya pergi ke pintu halaman masjid. Mereka tahu, Ahmad datang jauh-jauh dari Bandung dan tentu mereka ingin mengantarkannya minimal hingga terminal Bis. Tapi Ahmad selalu menolaknya diantar atau dijemput. Padahal, ia tidak punya kendaraan. Ia hanya menyadari dirinya sehat, tidak ingin merepotkan orang dengan memanjakan dirinya. Yang ia rasakan nikmat bukan amplop atau diantar mobil tapi do’a jama’ah pada mengalir untuk dirinya melepas kepergiannya. Do’a agar selamat, agar dilindungi Allah, do’a untuk keluarganya, disamping ucapan terima kasih tak terhingga. Ahmad merasakan, do’a-do’a tulus ikhlas dari orang-orang kecil itu jauh lebih berharga, jauh terasa lebih nikmat meresap ke dalam hati dan lebih besar nilainya dari uang puluhan juta. Do’a-do’a tulus itu akan menjadi bekal hidupnya di masa depan. Ia kemudian pamit dan berjalan kaki dengan uang disakunya hanya Rp. 15.000.

Ahmad adalah pengembara dari Jama’ah Taushiyah Syaghafan. Ia sangat yakin dengan menjaga hatinya seperti itu, Allah justru akan memberikan pertolongannya yang jauh lebih besar  dari arah yang tak disangka-sangka. Dan itu sering ia alami. Itulah keyakinannya sehingga ia tidak menggantungkan bantuannya pada manusia. Bantuan Allah sudah menjadi keyakinannya, menjadi jiwanya. Saat ia mulai berjalan menjauhi masjid, ia berharap pertolongan Allah datang lagi dalam bentuk apa saja yang bisa mengantarkannya pulang ke Bandung. Ia berjalan dan terus berjalan. Biasanya pertolongan Allah itu tidak lama sudah datang. Yang ia sering alami, ketika sedang berjalan kaki pulang dari luar kota sesudah memberikan taushiyah pengajian, tiba-tiba sudah berada di dekat rumahnya. Allahu Akbar …!! Matanya terbelalak tidak percaya, tapi sering terjadi. Ia hanya berjalan mengandalkan kakinya yang diamanatkan Allah untuk digunakan. Itu saja yang ia yakini.

Siang itu, Ahmad terus berjalan sambil hati kecilnya berharap bantuan Allah lagi. Tapi, setelah sekian jam berjalan, tidak ada juga. Ia heran dan bertanya-tanya. Tapi kemudian segera meluruskan hatinya. Ia berbicara pada dirinya: “Ahmad kamu sehat dan punya kaki, kenapa tidak dipakai? Kenapa harus bergantung pada pertolongan yang pernah dirasakan?” Ia beristighfar menyadari itu dan meniatkan pulang ke Bandung berjalan kaki. Ia pun menghilangkan harapan yang bisa merusak keikhlasannya.

Tanpa terasa, dari dhuhur hingga sudah larut malam ia telah berjalan dan masih jauh ke Bandung. Di tengah jalan, ia masuk masjid dan ia yakin ada sesuatu yang salah pada dirinya karena tidak biasanya seperti itu. Saat shalat, ia menangis sejadi-jadinya. Ia malu kepada Allah dan merengek-rengek memohon ampun. Ia merasa keikhlasannya di pengajian tadi tengah diuji. Ia merasa hatinya berkata pada dirinya:

“Ahmad, engkau sudah berbuat mulia, menolak bayaran dan kau pakai untuk masjid. Dan engkau berniat jalan kaki ke Bandung, tapi mengapa engkau berharap balasan? Dimana keikhlasanmu? Allah sering memberikan pertolongan kepadamu dan pertolongan Allah kepada kekasih-kekasih-Nya adalah pasti. Tapi mengapa engkau menjadikan itu sebagai andalan? Bisakah kedekatanmu pada kepada Allah tidak kau jadikan andalan mendapatkan kemudahan? Mana perjuanganmu? Mana bukti keikhlasanmu? Tunjukkan dulu usahamu yang maksimal mempergunakan apa-apa yang sudah dianugrahkan Allah kepadamu. Allah sudah memberimu badan, kaki dan kesehatan, mengapa tidak kau gunakan? Walaupun berharap balasan dari Alah adalah sebuah keikhlasan, tapi tetap itu masih berharap balasan. Itu belum keikhlasan yang sesungguhnya. Keikhlasan yang sejati adalah tidak berharap balasan dari siapa-siapa, dari Dia sekalipun. Seseorang berbuat kebaikan adalah untuk kebaikan dirinya, seseorang berbuat mulia untuk kemuliaan dirinya, Allah membalasnya atau tidak itu urusan-Nya. Yang jelas, Allah pasti tidak pernah menyia-nyiakan kebaikan seorang hamba-Nya. Allah ingin melihat bukti keikhlasanmu tanpa Allah memberikan bantuan kepadamu. Apa engkau tidak ikhlas dengan kebaikanmu?”

Mendengar suara haitnya itu, ia tak tahan dengan perasaan malunya. Ia sujud menangis. Air matanya membasahi sajadahnya: “Ya Allah, ampunilah aku. Bukan berharap Engkau memudahkan urusanku, tapi pertolongan-Mu selama ini selalu terbukti nyata padaku. Aku jadi kebiasaan. Sekarang aku malu kepada-Mu ya Allah… Aku menyadari, seharusnya aku tidak berharap begitu, itu urusan Engkau menolong aku atau tidak. Sekarang aku ikhlaaaas… dengan perjalanan pulangku ini, maafkan aku ya Allah, aku mohon ampuun padamu ya Allah…!” sambil terus terisak-isak. Ia bermalam di masjid itu karena kelelahan.

Pagi harinya, ia merasa jiwanya segar dan pulih kembali. Kesalahan hatinya telah disadarinya dan ia merasa Allah sudah mengampuni kesalahannya. Dari masjid itu ia berjalan kaki lagi ke Bandung, singgah dari masjid ke masjid untuk shalat dan istrahat. Sesekali diisi berjam-jam ngobrol memberikan taushiyah. Ia baru tiba di Bandung setelah tiga hari berjalan kaki. Ia merasakan perjalanannya nikmat luar biasa. Uangnya disaku tinggal sepuluh ribu rupiah, lima ribu ia pakai makan supermie dua kali dalam perjalanan pulang yang “berkesan” itu.

Ketika saya tanya mengapa pertolongan Allah tidak datang saat itu? Ia menjawab: “Karena saya mengharapkannya. Itulah kesalahan saya. Saya belum ikhlas. Itulah yang saya tangisi dan memohon ampun. Ketika saya tidak bergantung pada anugrah kemudahan Allah yang sering diberikan kepada saya, jutsru sering keajaiban Allah itu datang dengan mudahnya,” ujarnya. “Kelemahan kita umumnya, jangankan kemudahan dari Allah, bantuan dan pertolongan dari manusia saja sering membuat kita bergantung kepada mereka dan lupa kepada hakikat yang memberikannya. Belum lagi bantuan itu kita pergunakan untuk tujuan-tujuan yang salah dan tidak pada tempatnya. Itulah yang harus kita hindari bila hati kita ingin hidup dan bercahaya.”

Subhanallah… saya sangat malu pada diri sendiri mendengar kisahnya!![]

11 thoughts on “Andai Para Mubaligh Seperti Ini ..!!

  1. Adang Junaidi

    Assalamu’alaikum. Wr Wb.
    Memang seorang mubalik harus berbuat iklas dalam menyampaikan ayat-ayat Allah agar ilmu yg disampaikan menjadi berkah untuk dirinya sendiri, manusia dan seluruh alam.

  2. Pingback: Mengagumkan, Menolak Batu Merah Delimanya Dibeli Cash 5 Milyar « inspirasi

  3. Pingback: Kisah Menarik: Menikah dengan Jin Muslimah Cantik Berumur 200 Tahun dan Bahagia Berpasangan!! « inspirasi

  4. Mim Kemaman M'sia

    Kisah saudara Ahmad di atas boleh dijadikan teladan bagi kita yg berusaha berbakti kpd sesiapa saja tanpa mengharapkan balasan……itulah seikhlas2nya….Kita yg kena jadi sepatutnya sentiasa patuh kpdNya…

    Terus berjuang utk kalimah Allah di muka bumi ini..

    Allahu Akbar

  5. Nugroho Laison

    banyak yg penasaran baik dari segi positif mau pun dari segi curiga, thd profil ustadz Ahmad ini…

    semoga bisa diterangkan jati dirinya. biar tdk majhul, sehingga khobarnya lebih kuat/dpt diterima.

    http://groups.yahoo.com/group/insistnet/message/24669
    Re: [INSISTS] Kisah Nyata: Inilah Drama Pernikahan Poligami yang Sempurna dan Sangat Mengharukan

    iya nih, ada kasyaf-kasyaf nya segala. ke-sufi-sufi-an semacam itu lebih besar peluangnya untuk menyeleweng dari ahlus sunnah.

    salam,
    zaki

    2012/8/9 Agus Wahyu Sudarmaji

    Sebenarnya saya juga masih heran dengan artikel ini, berharap ada info
    aktual mengenai ustad “Ahmad” yang diceritakan.
    Dalam artikel lain, pernah diceritakan bahwa ketika ustad Ahmad selesai
    ceramah di Sukabumi, dan melangkah keluar dari masjid, tidak lama
    dirinya sudah berada di Bandung.
    Mmm, cerita yang sedikit aneh juga ya?

    Berikut link artikel tambahan lainnya:

    Andai Para Mubaligh Seperti Ini ..!!

    From: insistnet@yahoogroups.com [mailto:insistnet@yahoogroups.com] On Behalf Of nugon19
    Sent: 09 Agustus 2012 9:03
    To: insistnet@yahoogroups.com
    Subject: Re: [INSISTS] Kisah Nyata: Inilah Drama Pernikahan Poligami yang Sempurna dan Sangat Mengharukan

    ndak bisa komentar…..
    baca aja deh…

    Kebanyakan sumber permasalahan adalah cara berkomunikasi!!!
    http://nugon19.multiply.com/journal

    -=-=-=-

    http://pejuangislam.com/main.php?prm=berita&var=detail&id=385

    Kisah Nyata: Inilah Drama Pernikahan Poligami yang Sempurna dan Sangat Mengharukan
    Penulis: Moeflich Hasbullah [11/7/2012]

    Kisah Nyata: Inilah Drama Pernikahan Poligami
    yang Sempurna dan Sangat Mengharukan

    Oleh Moeflich Hasbullah

  6. Mas Nugroho Laison, Zaki dan Agus Wahyu Sudarmaji, terima kasih atas komentarnya atas tulisan-tulisan saya tentang tokoh ‘Ahmad’ yang tentunya aneh untuk ukuran orang zaman sekarang.

    Saya jelaskan beberapa hal berikut:

    Pertama, Ustad Ahmad ini bukan fiktif, orangnya ada, dia sahabat saya. Kisah-kisahnya tidak keberatan diceritakan, tapi ia minta disamarkan, tidak mau disebutkan. Maka, saya pakai Ahmad saja. Alasannya hanya satu, dia tidak mau dikenal dan sangat takut menjadi kesombongan.

    Kedua, selama ini, beliau hanya menceritakan saja pengalamannya pada saya sebagai sahabat dekat melalui obrolan biasa. Sayalah yang menuliskannya, karena bagi saya, seperti juga Anda dan banyak orang, menarik, aneh, takjub, misteri dan seperti tak mungkin. Tapi, karena saya tahu betul siapa dia (perjalanan hidupnya, ilmunya dan pengaruhnya) saya mempercayainya sepenuhnya. Kalau penasaran dan mau, mari berkumpul dan ngobrol dengan beliau. Dia akan suka, karena beliau suka ngobrol, asal kuat saja. Beliau, kalau ngobrol, bisa seharian penuh bahkan berhari-hari, isinya selalu ttg kesadaran agama dan kehidupan. Lagi nulis ini pun, saya sambil ngobrol nih panjang dengan beliau di telpon. Dalam obrolannya dengan Anda nanti, jangan berharap dia akan menunjukkan kelebihan-kelebihannya. Itu sangat dia hindari karena dia paling tidak suka pamer, dia sendiri merasa tak punya kelebihan apa-apa, itu bukan kemampuan dia, dia selalu mengatakan semuanya dari Allah saja yang terjadi atas dirinya. Semua kelebihannya, terjadi begitu saja ketika beliau sedang menegakkan kebenaran.

    Ketiga, tulisan-tulisan saya seperti melebih-lebihkannya. Sebenarnya bukan, maksud saya sebagai cerita inspiratif saja. Dan karena itu cerita ttg dia, maka ttg sosoknya kan tidak mungkin disembunyikan. Dan harap tahu, ‘Ahmad’ sendiri tidak pernah membaca tulisan saya itu semua. Dia cuek saja dan tidak peduli, senang tidak, tidak suka pun tidak, membaca pun tak pernah. Hanya dia senang kalau ada orang yang mau ngobrol dgn dia (kalau saya menyebutnya belajar) untuk bersama-sama memperdalam kesadaran hidup. Dia tidak akan pernah merasa sebagai guru, sebagai penasehat, sebagai yang punya kelebihan dst. Tidak. Biasa-biasa saja, penampilannya saja kayak preman. Tapi, saya jamin, ucapan-ucapan dan penjelasannya akan terasa menghujam jantung Anda, kalau Anda senang perenungan hidup, apalagi bila Anda punya masalah hidup, termasuk yang berat, beliau akan sangat mudah mengetahui sebabnya dan memberikan solusinya. Nasehat-nasehatnya akan panjang lebar keluar. Maaf, saya bilang saja nama Anda pada dia, beliau akan tahu segalanya ttg kondisi Anda. Dan, sekali lagi, dia merasa tidak punya ilmu apa-apa, dia sangat tawadhu, semuanya dia bilang punya Allah dan kehendak Allah. Ahmad paling tidak suka pada kesombongan manusia dan paling tidak suka kalau dipuji. “Segalanya terjadi atas kekuasaan Allah, mengapa saya yang harus dipuji? Betapa tidak tahu malunya,” katanya. Bagi saya, beliau ilmunya luar biasa, tapi dia paling tidak suka disebut begitu, apalagi kalau dipuji, dia akan langsung memotong pujian kita.

    Sudahlah, akan sangat panjang kalau saya harus menjelaskan dia. Mudah-mudahan uraian ini cukup membantu dan bila benar-benar penasaran, mendingan ketemu saja di Bandung, ngobrol dengan beliau akan lebih mengasyikkan. Insya Allah, Anda akan tercerahkan!!

    Salam hangat,
    Moeflich Hasbullah

  7. Agus saputra

    Maaf M.Hasbullah kira kira bila ingin bertemu dan ngobrol dengan pak Ahmad dibandungnya alamatnya dimana pak. saya sangat butuh naseht beliau. tks

  8. Pingback: Mengagumkan, Menolak Batu Merah Delimanya Dibeli Cash Rp. 5 Milyar by Masjid Abu Bakar Ash-Shiddiq Cawang Otista | Masjid Abu Bakar Ash-Shiddiq Cawang

Leave a comment