Syariat Islam, Perda Syariah dan Masa Depan Indonesia

Oleh Wima Brahmantya
(05/09/2011)

 

Kata “syariat Islam” berarti adalah “jalan menuju penyerahan diri (kepada Allah)”. Sebagai seorang Mukmin, sudah tentu saya akan mendukung tegaknya syariat Islam di muka bumi ini, dengan segala daya upaya untuk mendorong setiap manusia untuk benar-benar memahami hakikat hidup dan berserah diri hanya kepada Allah.

Perlu diingat bahwa jalan menuju penyerahan diri kepada Allah adalah sebuah pergulatan pribadi untuk menemukan Tuhan yang telah menciptakannya. Ini adalah pencarian yang tidak akan pernah berhenti hingga nafas terakhir.

Agama hanyalah sebuah jalan dan bukanlah tujuan akhir. Dengan demikian, ketika anda telah mengikrarkan diri memeluk agama Islam, bukan berarti perkaranya selesai. Anda tetap dituntut untuk meraih keimanan dan ketakwaan sejati, yang merupakan sebuah perjuangan hingga akhir hayat. Semua itu harus dilandasi oleh ketulusan dan keikhlasan untuk mengabdi hanya kepada Allah (QS 4 : 125, QS 39 : 2, QS 40 : 65) dan bukan karena keterpaksaan (QS 2 : 256).

Nah, bagaimana mungkin pergulatan pribadi seorang hamba Allah untuk menuju Sang Pencipta itu (yang merupakan urusan yang sangat pribadi) harus diatur dalam sebuah undang-undang? Bukankah ini berarti sebuah pemaksaan kepada seseorang untuk berjalan di jalan penyerahan diri tersebut? Sekali lagi, keimanan dan ketakwaan itu tidak bisa dipaksakan! Bahkan Allah sendiri mempersilahkan manusia untuk kafir, dengan konsekuensi akhirat yang harus siap ditanggung olehnya (QS 18 : 29).

Lagi pula saya melihat perda-perda syariah yang bertebaran di seluruh Republik Indonesia ini rancu dalam memahami apa itu syariat Islam. Yang terjadi adalah penerapan syariat adat-istiadat, syariat Melayu, syariat Arab, syariat Salafi, dll. Bagaimana mungkin mereka mengklaim sedang menegakkan syariat Islam sementara mereka justru menghancurkan sendi-sendi ajaran Islam dengan pemaksaan terhadap keimanan dan ketakwaan, jauh sekali dari Alquran yang sangat toleran dan mengakui pluralitas.

Dalam kacamata politik saya yang awam ini, saya cenderung melihat bahwa kepala-kepala daerah yang mengesahkan perda-perda syariah itu sesungguhnya tidak mengerti betul apa yang mereka lakukan, karena sebenarnya motif mereka lebih bernuansa politik daripada agama. Mereka melakukannya (perda syariah) hanya demi menarik konstituen massa Islam dalam pemilu kepala daerah. Mereka juga tidak paham bahwa berdasarkan Pasal 10 UU No. 32 th. 2004 tentang Pemerintahan Daerah : bahwa urusan agama, politik luar negeri, pertahanan, dan moneter adalah merupakan urusan pemerintah pusat. Di sisi lain, pemerintah pusat juga lalai membiarkan perda-perda syariah itu bermunculan dengan melanggar Pasal 10 UU No. 32 th. 2004 tsb.

Mari kita lihat sekilas saja agar anda tahu betapa kacaunya penerapan perda syariah yang ada di berbagai daerah :

– Peraturan tentang kewajiban ‘berbusana Islami’ yang diterapkan di berbagai kota di beberapa propinsi seperti NAD, Sumatera Barat, dan Jawa Barat. Ini jelas merupakan kerancuan dalam memahami apa itu ‘busana Islami.’ Busana Islami dalam ajaran Islam adalah busana yang sopan dan tidak mengundang syahwat. Dan ini bersifat universal, tidak mengacu kepada kebudayaan tertentu, budaya Arab atau Melayu misalnya. Busana ala Barat pun bisa Islami selama berpegang pada kaidah kesopan-santunan. Alquran sendiri tidak pernah menjelaskan jenis busana Islami itu seperti apa, melainkan menekankan kepada etika moralnya saja.

– Jargon-jargon : “Wanita Bermoral adalah Yang Berjilbab”, yang pernah saya lihat di beberapa kota di Jawa Barat. Bagi saya, jargon-jargon semacam ini sangat menyederhanakan dan mengerdilkan substansi ajaran Islam itu sendiri, seolah-olah moral seorang wanita hanya dilihat dari penampilan fisiknya saja. Saya pikir jargon semacam ini juga menyakiti hati wanita (yang tidak berjilbab) yang memiliki keinginan dan keikhlasan yang dalam untuk mendekatkan diri kepada Allah.

– Yang lebih parah lagi di beberapa kota, jilbab dipaksakan kepada Non-Mukmin melalui instansi pemerintah daerah maupun sekolah-sekolah tertentu. Ini jelas-jelas melanggar ajaran Alquran bahwa tidak ada hak bagi seorang muslim barang sedikit pun atas urusan Non-Mukmin (QS 3 : 128, dan QS 109 : 1-6).

– Kewajiban untuk khatam Alquran di beberapa daerah sebagai syarat pernikahan dan kenaikan pangkat. Ada beberapa daerah yang mengeluarkan sertifikat tanda khatam Alquran. Ini lucu sekali. Urusan manusia dengan Tuhannya kok pakai disertifikatkan segala? Semakin kacau bukan?

– Di berbagai daerah, seseorang bisa didakwa melanggar syariah hanya berdasarkan prasangka. Seperti yang terjadi pada kasus Lilis Lindawati di Tangerang. Di suatu malam di bulan Februari 2006, Lilis ditangkap oleh Satpol PP Kota Tangerang, dengan tuduhan melacur di malam hari. Sejatinya, Lilis bukanlah pelacur, karena ia adalah seorang karyawan yang kebetulan sedang bepergian di malam hari. Akhirnya Lilis didakwa melanggar syariat Islam dan dihukum kurungan empat hari dan denda Rp. 300 ribu. Hukuman ringan? Tidak juga. Konsekuensinya justru sangat berat setelah hukuman tersebut. Lilis harus menerima sanksi sosial berupa pengucilan dari masyarakat. Lilis menjadi sangat depresi, hingga pada tahun 2008 Lilis Lindawati meninggal dunia akibat depresi akut.

– Sebagai respon atas maraknya perda syariah di berbagai daerah di Republik Indonesia, maka daerah-daerah dengan mayoritas penduduk Kristen mulai menggeliat. Salah satunya di Manokwari, Papua Barat yang mencanangkan Manokwari sebagai kota Injil. Kebijakan ini melahirkan aturan yang diskriminatif terhadap umat Islam di mana jilbab dan azan dilarang! Bayangkan jika ‘balas-membalas’ ini akhirnya terjadi di seluruh wilayah Indonesia, misalkan di Bali ada syariat Hindu, anda bisa bayangkan seperti apa masa depan negara kita tercinta ini?

Inilah realita yang sedang kita hadapi bersama. Bahwa ternyata sebagian besar masyarakat kita belum bisa dewasa dalam beragama. Mereka memahami agama sebagai simbol, ritual, dan kulit belaka, akan tetapi tidak sanggup memahami hikmah dan substansi ajaran Islam itu sendiri. Yang terjadi adalah kerancuan, kefanatikan, kebodohan, dan kekonyolan.

Segala macam ‘kekacauan agama’ ini akhirnya dimanfaatkan pula demi agenda politik, dan dengan mudah ‘dikonsumsi’ oleh para imperialis asing untuk semakin menghisap sumber daya alam dan manusia Indonesia, sehingga rakyat Indonesia semakin miskin dan bodoh!

Saya pribadi tentu tidak akan pernah melupakan bagaimana negeri ini dibangun di atas darah dan air mata nenek moyang kita yang berjuang tanpa pamrih demi tegaknya NKRI yang berketuhanan! Saya menyebut kata berketuhanan agar anda tidak salah menafsirkan bahwa saya menempatkan NKRI di atas Islam!

Dalam kegundahan hati ini, saya hanya bisa berdoa, berharap, berusaha agar negeri kita tercinta ini, Nusantara dengan peradabannya yang besar, Negara Kesatuan Republik Indonesia ini, akan tetap utuh bersatu dalam beberapa tahun ke depan ..

Ya Allah dengarkanlah doa kami!
(www.jernih.net)

Leave a comment