Krisis Sosial Ekonomi dan Revivalisme Islam di Asia Tenggara

Oleh Moeflich Hasbullah
Dimuat di Harian Republika, th. 2000
Epilog dalam buku Asia Tengara: Konsentrasi Baru Kebangkitan Islam (2003)

a

a Krisis seperti dialami Asia Tenggara dan terutama Indonesia tahun-tahun belakangan ini, sesungguhnya tidak saja berarti suatu kondisi sosial ekonomi yang lemah, memprihatinkan dan instabil karena sedang dihantam oleh persoalan serius dimana sendi-sendi ekonomi (aktifitas, kapital, institusi dan pasar) dilanda kerawanan dan relatif lumpuh. Krisis juga sebetulnya berarti sebuah stimulus untuk terjadinya perubahan struktur sosial yang fundamental atau sebuah stepping stone untuk mendorong perubahan sosial politik lebih bermakna. Tulisan ini mencoba menghubungkan krisis sosial ekonomi dengan kebangkitan Islam Asia Tenggara dengan fokus utama Indonesia, atau, kebangkitan Islam di Asia Tenggara didekati dari teori krisis. Tulisan ini mengajak kita sejenak keluar dari derita ekonomi, melakukan refleksi dan tidak melihat krisis sebagai ‘krisis’ an sich tetapi meletakkan krisis dalam konteks peradaban atau proyek sejarah yang panjang. Dari perspektif historis, krisis akan dianalisis dalam konteks kebangkitan Islam di Asia Tenggara.

Krisis dan Revivalisme dalam Sejarah
Beberapa sarjana peminat studi-studi masyarakat Islam, telah mencoba menghubungkan antara krisis sosial-ekonomi-politik-budaya dengan gerakan kebangkitan Islam yang menyertainya. Mereka mencoba menganalisis krisis secara teoritis untuk menjelaskan gejala kebangkitan agama. Pendekatan ini menyimpulkan bahwa gerakan-gerakan revivalis secara umum muncul dalam sejarah Islam pada saat masyarakat Muslim sedang merasa terancam dan diliputi sense of crisis disebabkan adanya kekalahan perang, serbuan dari luar, dirasakannya suasana kemunduran (sense of decline) dalam kehidupan sosial secara umum.

Diantara para sarjana peminat studi historis Islam, Hrair Dekmejian barangkali adalah yang paling peduli dan serius mendalami hubungan antara krisis sosial umat dengan gerakan revivalis. Perhatian mendalamnya ia tuangkan dalam bukunya, Islam and Revolution: Fundamentalism in the Arab World (Syracuse University Press, 1985). Buku ini tampak terjaga relevansinya di setiap terjadi krisis sepanjang sejarah, dan untuk konteks Asia Tenggara menjadi ter-reaktualisasi dan menemukan momentumnya dengan situasi krisis yang belakangan menerjang kawasan berpenduduk 300 juta Muslim ini. Hubungan kausalitas antara krisis sosial dan kebangkitan agama (religious revival) terdapat validitas yang penting terutama dalam setting masyarakat multi-kultural, dan, dalam hal ini Islam bukanlah kekecualian. Dari penelitiannya, Dekmejian menyimpulkan bahwa sepanjang empat belas abad, Islam telah menunjukkan kapasitasnya yang unik untuk memperbarui dan mereformulasi dirinya melalui suatu sistem yang ia sebut self-regenerating social mechanism (mekanisme sosial regenerasi diri). Mekanisme ini berfungsi merespon suasana dimana ideologi-ideologi dan kekuatan-kekuatan sosial sedang bertempur satu sama lain. Ia berfungsi “secara otomatis” pada saat integritas moral atau eksistensi umat sedang terancam. Dekmejian kemudian mencoba membuktikan tesisnya bahwa siklus dinamika krisis dan kebangkitan ini terimplementasikan hampir sepanjang sejarah Islam dalam event-event historis yang beragam (lihat tabel).

Sebab-sebab sosial Revivalisme Islam
______________________________________________________________________________

Pemimpin/Gerakan Sebab-sebab

‘Umar II (w.720) : Degenerasi moral Umayyah
Ibn Hanbal (w. 855) : Imposisi Abbasiyah terhadap doktrin atau represi nagara yang dikuasai Mu’tazilah
Ibn Hazm (w. 1064) : Kemunduran dan kekalahan Umayyah di Spanyol
Ibn Taimiyyah (w. 1328) : Kehancuran Abbasiyah/Penaklukan Bangsa Tatar / Krisis ekonomi dan moral
Ibn ‘Abd al-Wahhab (w.1791) : Kemunduran Turki-Utsmani/Krisis moral dan agama
Gerakan Sanusiyah (1880an) : Krisis keagamaan masy. tribal/Penaklukan Bangsa Itali
Gerakan Mahdiyah (1880an) : Konflik keagamaan masy. tribal/Krisis ekonomi / Penguasa Anglo-Mesir-Turki
Gerakan Salafiyyah (1890an) : Militer Eropa/Imperialisme kultural dan ekonomi
Ikhwanul Muslimin (1930an) : Krisis sosial-ekonomi-politik/Kehadiran imperialis Inggris

__________________________________________________________________________________
Sumber: R. Hrair Dekmejian, “Islamic Revival, Catalysts, Categories, and Consequences,” dalam Shireen T. Hunter (ed.), The Politics of Islamic Revivalism, Diversity and Unity, 1988.

Tabel tersebut menunjukkan bahwa munculnya gerakan revivalisme Islam dipacu oleh sebab-sebab krisis: sosial, ekonomi, politik dan moral. Lewat tabel itu Dekmejian ingin menjelaskan bahwa kemunculan Khalifah Umar bin Abdul Aziz dan Ibn Hanbal terutama disebabkan dipicu oleh sebab-sebab sosial dan spiritual kendati kasus represi politik oleh penguasa Mu’tazilah terhadapnya juga berperan penting. Situasi yang dihadapi Ibn Hazm dan Ibn Taimiyyah bagaimanapun juga berpusat pada konflik internal, kemunduran moral dan ancaman kehancuran umat. Kemunculan gerakan Wahhabiyah, selain tekanan politik dari penguasa Turki Utsmani, yang terpenting adalah kemunduran moral keagamaan umat Islam yang sedang terseret ke dalam gelombang jumudisme, sinkritisme dan takhayul. Sanusiyah, gerakan tarekat di masyarakat tribal di Tunisia, menjadi radikal, politis dan massal sebagai respon terhadap imperialisme Itali yang meluas ke wilayah Afrika Utara. Gerakan Salafiyah sebagai gerakan reformis juga muncul sebagai resistensi terhadap penguasa imperialis Eropa serta penetrasi ekonomi dan kultural mereka. Dan kehadiran hegemoni Inggris yang kemudian memuncak pada persoalan-persoalan sosial ekonomi yang parah, dan juga pengaruh kultural dan ideologi Barat yang kuat yang teradiasi ke masyarakat muslim Mesir telah menjadi katalisator krisis yang memunculkan gerakan Ikhwanul Muslimun. Dari paradigma yang dikembangkan, pendekatan teori krisis ini masih satu aliran dengan –untuk tidak mengatakan implementasi dari– teori challenge and response-nya Arnold Toynbee. Pola gerak sejarah Islam adalah pola kausalitas antara challenge dan response, antara krisis dan revivalisme. Pendekatan teori ini, pada kenyataannya, masih tetap relevan menjelaskan peristiwa-peristiwa kekinian dan kedisinian Islam bahkan “sejarah masa depan.”

Krisis dan Revivalisme Islam Kontemporer

Dalam era modern sejarah Islam, bila dicermati secara seksama, adalah krisis kaum kaum Muslimin yang telah memacu apa yang disebut sebagai kebangkitan Islam sejak abad ke-15 Hijriyah yang membentang dari Maroko sampai Merauke. Apakah ide dasar atau opini publik dunia Islam di balik gerakan revivalisme Islam yang disimbolkan oleh kemunculan Jamaluddin al-Afghani dan Muhammad Abduh sejak abad ke-19 dan terus digaungkan sampai sekarang? Tak lain adalah krisis keterbelakangan dan ketertinggalan ilmu pengetahuan (sains) dan teknologi umat Islam dari dunia Barat. Paling tidak, problem utama ketertinggalan yang sering didengungkan adalah: Pertama, disintegrasi politik Islam dengan wafatnya lembaga kekhalifahan terakhir di tangan Kemal Attaturk tahun 1924. Kedua, tenggelamnya dunia Islam dalam cara berfikir yang jumud, konservatif, pasif, tertutupnya pintu ijtihad dan penghayatan bahwa kebenaran Islam telah final. Maka, ide gerakan Jamaluddin al-Afghani adalah Pan-Islamisme sebagai respon terhadap krisis politik (disintegrasi umat), dan gerakan Abduh diasosiasikan dengan rasionalisme Islam sebagai respon terhadap krisis berfikir umat. Ide Pan-Islamisme hampir tidak pernah terwujud karena dunia Islam berkembang semakin pluralistis secara politis dan kultural yang berakibat pada kesulitan menemukan sistem sosial politik dan kepemimpinan yang diterima semua aliran dan bangsa-bangsa Islam. Di sisi lain, sistem nation-state yang berpijak pada nasionalisme cenderung lebih realistik dan relevan dengan wajah multi-kultural dan multi-sivilisasional Islam ketimbang institusi kekhalifahan. Berbeda dengan Pan-Islamisme, gerakan rasionalisasi Abduh, berkembang pesat dan semakin menemukan momentumnya sejalan dengan modernisasi pendidikan di dunia Islam. Relatif sejak era Abduh, pendekatan empirik-rasional atas Islam mulai menemukan momentumnya.

Gerakan revivalisme global kontemporer ini, diperkuat oleh krisis-krisis lain yang melanda dunia Islam yang dipicu oleh proses modernisasi. Sejak pasca Perang Dunia II, dunia Islam yang rata-rata baru mengalami dekolonialisasi, dihadapkan pada proses modernisasi yang dahsyat. Pada perjalanannya, modernisasi tidak hanya berarti rasionalisasi tetapi juga membawa, paling tidak, dua dampak yang sangat kuat: Pertama, serbuan ideologi-ideologi Barat ke dunia Islam, dan kedua, proses sekularisasi. Hegemoni ideologi-ideologi Barat seperti modernisme, demokrasi, kapitalisme dan materialisme membuat dunia Islam hampir-hampir kehilangan ruang geraknya sama sekali untuk meng-counter dominasi sistem-sistem sosial politik tersebut. Modernisasi tidak hanya berarti transformasi dan rasionalisasi tapi juga telah menjadi katalisator dan media westernisasi. Demokrasi telah menjadi alat Barat yang ampuh untuk memukul Islam dengan melanggengkan tudingan bahwa Islam identik dengan otoritarianisme bahkan fundamentalisme, atau dengan kata lain bentuk-bentuk pemerintahan Islam adalah inkompatibel dengan demokrasi. Kapitalisme yang hegemonik selama beberapa abad telah membuat Islam kebingungan untuk membuat sistem ekonomi tandingan yang terlepas secara an sich dari cengkraman kuku-kuku panjang kekuasaannya. Bank-bank Islam memang kini bermunculan dan diupayakan sebagai alternatif tetapi masih dalam tahap proses introduction dan ‘bertahan hidup.’ Materialisme dengan ‘anak-anaknya’ seperti konsumerisme dan hedonisme telah melenakan umat Islam dalam kenikmatan syahwat-material dan hampir-hampir melupakan khazanah khas Islam: ruh al-jihad, suatu konsep yang mengajarkan ketakberpihakan kepada materialisme, dan sebaliknya, ajaran pemihakan dan komitmen kepada akhirat yang abadi ketimbang dunia yang fana.

Revivalisme Islam kontemporer sesungguhnya tak bisa dilepaskan (inseparable) dari krisis-krisis di dunia Islam yang dipacu oleh dominasi penetrasi Barat tersebut. Hegemoni ideologi-ideologi Barat yang dipapar di muka telah –secara langsung atau tidak– menjadi katalisator terciptanya sense of crisis di dunia Islam. Dan, gema kebangkitan Islam adalah respon terhadap tantangan eksternal tersebut sekaligus upaya survive umat dari sense of crisis yang dirasakan secara global. Dan krisis, ketimbang benar-benar krisis lebih sering berarti stimulus untuk sebuah gerakan revivalisme.
Krisis dan Revivalisme Islam Asia Tenggara

Apakah makna krisis bagi Asia Tenggara dan terutama Indonesia? Perspektif historis seperti diuraijelas dimuka menunjukkan bahwa ‘krisis’ telah memberikan kontribusi yang signifikan dalam menjelaskan fenomena kebangkitan Islam. Variasi krisis mulai dari krisis ekonomi, konflik politik, krisis legitimasi, krisis identitas, konflik kelas sampai krisis kebudayaan dapat menyulut munculnya gerakan kebangkitan agama, atau berfungsi sebagai, seperti Dekmejian menyebutnya, the catalyst of Islamic Revival responses. Di wilayah-wilayah urban dunia Islam, Huntinton dalam bukunya The Clash of Civilization (1997) menyebutkan bahwa krisis identitas yang dipacu oleh proses modernisasi telah menjadi pendorong utama kembalinya umat Islam pada simbol-simbol keagamaan seperti jilbab, masjid atau organisasi-organisasi dakwah Islam. Uraian historis hubungan erat antara krisis dan revivalisme di atas telah memberikan pijakan teoritis untuk melihat krisis Asia Tenggara dalam proyek panjang kebangkitan Islam. Jika sejarah telah membuktikan bahwa ragam krisis telah mendorong munculnya revivalisme, ini berarti bahwa krisis tidak mesti dilihat melulu sebagai problem an sich. Krisis ekonomi dan sosial politik di Asia Tenggara yang dipacu oleh krisis moneter sejak tahun 1997 telah menjadi katalisator bagi perkembangan-perkembangan baru Islam Asia Tenggara yang, tanpa adanya krisis, perkembangan-perkembangan tersebut mungkin tak terbayangkan sebelumnya. Beberapa indikator telah menunjukkan perkembangan baru tersebut.

Krisis ekonomi telah menciptakan restrukturisasi besar-besaran dalam bidang ekonomi. Setelah krisis moneter hampir menyeret Thailand, Malaysia dan Indonesia pada hiperinflasi dan kebangkrutan, negara-negara Asia Tenggara tersadarkan tentang masih lemahnya basis-basis institusi ekonomi mereka. Betapa satu kawasan yang pertumbuhan ekonominya rata-rata di atas 7 persen per tahun ternyata hanya perkasa di atas fundasi yang rapuh. Pembangunan ekonomi yang mengandalkan pada foreign loans dan foreign investment ternyata hanya menciptakan Asia Tenggara seekor raksasa berkaki lumpuh. Bukan saja tingkat ketergantungan pada lembaga-lembaga keuangan internasional semakin menguat bahkan hampir tak bisa lepas darinya. Hal itu dibuktikan oleh tak sanggupnya negara-negara Asia Tenggara menyelesaikan krisis ekonominya secara internal, dengan kata lain mustahil tanpa campur tangan kekuatan supra-negara seperti IMF. Namun lebih dari itu, seperti di Indonesia, ketergantungan itu dirusak oleh tradisi korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) yang dikembangkan birokrasi Orde Baru selama hamir 32 tahun.

Namun krisis ekonomi di Indonesia sesunguhnya dapat dilihat sebagai satu fase transisi dimana bangsa berpenduduk Muslim sekitar 180 juta ini memasuki satu era baru sejarahnya. Krisis telah mengakhiri rezim korup dan otoriter Soeharto dan memunculkan era reformasi, yang, kendati belum seideal harapan masyarakat yang menghendakinya reformasi secara total, telah membawa perubahan-perubahan besar dalam kehidupan ekonomi dan politik. Jatuhnya rezim Soeharto telah mengakhiri tradisi kekuasaan Jawa feodal dan berganti ke pemerintahan yang demokratis. Bila semasa Orde Baru kekuasaan sangat sentralistis, di era reformasi posisi politik pemerintah cenderung semakin lama semakin melemah. Kemunculan partai-partai baru membuat saluran politik rakyat yang kompleks kini lebih tertampung lebih baik. Otonomi daerah dikembangkan dan legalisasi aktifitas demonstrasi telah menguatkan posisi rakyat semakin kuat dalam bargaining power dan kontrol kekuasaan. Tekad pemberantasan korupsi, kebebasan pers, terbukanya wacana publik yang sangat lebar, restrukturisasi ekonomi dan rekapitalisasi perbankan, upaya pembongkaran pelanggaran-pelanggaran HAM dimasa Orde Baru dan pemulihannya, dan pengupayaan supremasi hukum kini semua menjadi agenda utama pemerintahan pasca-Soeharto.

Dari perspektif teoritis, krisis adalah sebuah vacuum bagi lahirnya sebuah revivalisme, sebuah gerakan kebangkitan rakyat. Bagi Islam, ini berarti konsolidasi basis-basis kebangkitan Islam, karena kebangkitan Asia Tenggara (Melayu) pada dasarnya adalah kebangkitan sebuah kawasan Islam. Asia Tenggara adalah kawasan bagi sekitar 300 juta kaum Muslimin, konsentrasi Islam terbesar di dunia. Konsolidasi struktural atau restrukturisasi jelas vital, karena seperti diungkapkan Salim Segaf Al-Jufri, tidak pernah ada peradaban berkembang tanpa dukungan struktural yang kokoh. Setiap peradaban, menurutnya, hampir selalu melalui tiga fase besar untuk berkembang. Pertama, fase perumusan ideologi dan pemikiran (Bagi Asia Tenggara, Pancasila di Indonesia, Islam di Malaysia), kedua, fase strukturalisasi, dan ketiga fase ekspansi. Dalam kerangka ini, Asia Tenggara sedang memasuki tahap kedua, tahap restrukturisasi sosial-politik-ekonomi melalui gerakan reformasi. Seperti diprediksi Huntington dan Fukuyama, bahwa proses demokratisasi politik akan terus menggelinding di negara-negara sedang berkembang kini menemukan momentumnya di Asia Tenggara. Selain demokratisasi, pertumbuhan ekonomi pun kini sudah memasuki fase stabil lagi. Indonesia sudah mencapai angka pertumbuhan di atas 2 persen per tahun dari angka negatif sebelumnya dan Malaysia sudah mencapai angka 4 persen pertahun.

Dengan semua ini, fondasi-fondasi ekonomi-politik Asia Tenggara mengalami konsolidasi, di up-grade. Kawasan terbesar Muslim ini kini berwajah lebih demokratis dan akan semakin menepiskan unitarianisasi bahwa Islam berwajah ‘teroris,’ ‘fundamentalis’ dan inkompatibel dengan demokrasi yang sudah menjadi label tetap kawasan Timur Tengah. Pemilu Juni 1999 kemarin yang sukses dan tanpa kekerasan meneguhkan betapa sebuah bangsa besar Islam seperti Indonesia bisa berdemokrasi secara damai. Bila ini terus bisa bertahan, berarti Asia Tenggara adalah sebuah kawasan Islam terbesar yang mampu berdemokrasi. Tidaklah berlebihan bila masa depan Islam pun sesungguhnya sedang berkonsentrasi di kawasan ini yang juga sedang memasuki era pasar bebas tahun 2003-2020 mendatang. Wallahu a’lam!!
1
Bibliografi
Fukuyama, Francis, The End of History and the Last Man (Penguin Books, 1992).
Dekmejian, R. Hrair, “Islamic Revival, Catalysts, Categories, and Consequences,” dalam Shireen T. Hunter (ed.), The Politics of Islamic Revivalism, Diversity and Unity, 1988.
Huntington, Samuel P., The Clash of Civilizations and the Remaking of World Order (Simon and Schuster, 1996).


One thought on “Krisis Sosial Ekonomi dan Revivalisme Islam di Asia Tenggara

Leave a comment