Nama, Rasa Bahasa dan Ruwatan Kebudayaan

Oleh Moeflich Hasbullah

*

Forum_announcement_header - Copy

Rasa bahasa penduduk Nusantara pada masa silam, baik masa Hindu maupun masa Islam, di kalangan raja-raja Hindu maupun parawali Jawa (walisongo), sungguh mengesankan. Mereka memiliki rasa bahasa yang tinggi dan sangat berseni yang bersumber dari khazanah kekayaan budaya lokal. Rasa bahasa saat itu tentu merupakan representasi kesadaran bahasa para pembesar kerajaan dan rakyatnya. Seperti sekarang, bahasa yang digunakan presiden, para menteri dan pejabat tinggi negara sama dengan bahasa Indonesia yang digunakan umum. Kuatnya rasa bahasa ini misalnya ditemukan pada nama-nama dan gelar keluarga kerajaan Sunda maupun Jawa.

Pada masa Hindu-Budha abad 17 ke belakang, penamaan laki-laki dan gelarnya sangat maskulin, gagah dan menunjukkan kesatuan dengan alam: Lingga Buana, Prabu Niskala Wastukancana, Sang Ningrat Kencana, Sri Sang Ratu Dewata, Sri Baduga Maharaja atau Prabu Siliwangi, Cakrabuana. Di Jawa, Gajah Mada, Mangkubumi, Sultan Agung, Paku Alam, Hamengku Buana dan seterusnya. Nama-nama yang menyiratkan kegagahan, wibawa dan menyimbolkan keperkasaan.

Nama-nama perempuan sangat indah dari kekayaan rasa bahasa lokal Nusantara. Di Jawa klasik dikenal Dyah Dewi Pradnya Paramita, Sri Jayendra Dyah Dewi Gayatri. Di Sunda, Putri Dyah Pitaloka Citra Resmi, Nyai Subang Larang, Kentring Manik Mayang Sunda. Oleh parawali diteruskan, nama masjid yang didirikan Sunan Gunung Djati di Cirebon: Masjid Sang Cipta Rasa (masjid yang menciptakan rasa damai dan hening di sanubari pengunjungnya). Sekarang nama masjid Arab semua: Al-Hidayah, At-Taqwa, Al-Muhajirin, Al-Munawaroh dll, dan sangat jarang yang menggunaka bahasa lokal. Juga nama-nama pesantren yang semula dinisbatkan kepada lemah cai semisal Pesantren Centayan, Pesantren Tebuireng, Pesantren Krapyak, Pesantren Lirboyo, Pesantren Langitan, Pesantren Cipasung, Pesantren Sukamanah, Pesantren Sukahideng, Pesantren Cintawana, Pesantren Sukamiskin, Pesantren Suryalaya, menjadi Nurul Huda, Darul Hikmah, Darul Arqam, Darut Tauhid, Darul Ilmi, Darul Muttaqin dll.

Pada abad-abad kemudian, kekayaan budaya dalam rasa rasa bahasa kemudian mewariskan nomenklatur yang khas Indonesia pada berbagai aspek kebangsaan: kepulauan Indonesia disebut “Nusantara,” tanah air disebut “Ibu Pertiwi,” dasar negara bernama “Pancasila,” indahnya untaian pulau-pulau digambarkan sebagai “zamrud di khatulistiwa,” atau “ratna mutu manikam,” kekayaan hayati disebut “hutan belantara” dan seterusnya.

Rasa bahasa lokal atau nasional pada penamaan ini dipertahankan oleh presiden RI pertama. Bung Karno memberikan nama anak-anaknya dengan unsur-unsur alam: Megawati Soekarno Putri, Guruh Soekarno Putra, Guntur Soekarno Putra, Sukmawati, Taufan dan Bayu. Yurike Sanger (istri termudanya) diganti menjadi ‘Yuri’ saja. “Tak boleh memakai nama berakhiran ‘ke’ atau ‘ce’, Yuri saja ya,” kata Bung Karno pada Yurike yang kemudian dinikahinya. Ia pun mengganti nama Lientje Tambayong menjadi Rima Melati, menggelari Ibu Inggit sebagai ‘Srikandi Indonesia’ serta memberi judul ‘Sarinah ’ pada bukunya tentang perempuan Indonesia. Nama-nama sangat khas Indonesia. Pada keluarga Soeharto, unsur alamnya sudah hilang tinggal Jawanya (Siti Hardiyanti Hastuti (Tutut), Sigit Harjojudanto, Bambang Trihatmodjo, Siti Hediati Hariyadi (Titik), Hutomo Mandala Putra (Tommy), Siti Hutami Endang Adiningsih (Mamiek).

Di Sunda, ada fenomena yang menarik tantang nama ini. Ada EMPAT jenis nama di Tanah Parahyangan ini sebagai akulturasi, lokalisasi dan tradisi.

Pertama, akulturasi nama sebagai gabungan dua identitas kebudayaan. Masuknya Islam dan Kristen ke Nusantara memberikan pengaruh mengawinkan nama-nama menjadi lokal Sunda dan Islam. Maka, muncullah nama-nama Ajip Rosidi, Ahmad Heryawan, Aceng Fikri, Dudung Abdurrahman,Usep Romli Abdul Hamid, Cecep Burdansyah, Apip Mustopa, Ningrum Julaeha, Asep Salahuddin, Asep Saeful Muhtadi, Adeng Muchtar Ghazali, Dadang Syarifuddin, Jajat Burhanuddin, Engkin Muttaqin, Encup Firmansyah, Ai Aiysah, Entin Fathonah, Lilis Munawaroh, Enok Masfufah dst.

Kedua, sundaisasi nama-nama Arab karena pelafalan huruf Sunda yang tidak mengenal “f” tapi “p.” Ini tentu saja bukan suatu “pitnah” orang Sunda pada bahasa Arab melainkan sebuah kondisi alami saja. Maka, semua nama Arab yang terdapat huruf “fa,” berubah menjadi “p”: Padil, Purkon, Paisal, Apip, Saepul, Padilah, Aripin, Patimah, Patonah, Patma dll. Demikian juga, mulut Sunda tidak mengenal “z” tapi “j.” Maka, jadilah Jenal, Jaenudin, Juher, Juhri, Jahro (Zahra), Julaeha (Zulaiha), Jakaria dll. Ini masih mendingan karena hanya berubah satu huruf dan tidak terlalu merubah arti. Di Jawa, perubahan kata Arab terjadi lebih parah oleh lidah lokal masyarakatnya yang menyebabkan perubahan bahasa Arab menjadi kehilangan maknanya: Alhamdulillahi rabbil ‘alamin menjadi Ngalkamdulillahi robbil ngalamin. Dll.

Ketiga, entah dari mana, orang Sunda punya tradisi penamaan yang mengulang-ngulang suku kata akhir: Dadi Darmadi, Didi Munadi, Maman Sulaeman, Eman Sutarman, Ajat Sudrajat, Tata Sasmita, Nana Sutisna, Dana Sumpena, Yana Supriatna, Yayan Sutaryan, Ikin Asikin, Entin Suryatin, Dina Mariana, Esih Sukaesih, Eti Suhaeti dll. Juga gabungan Sunda Arab: Oman Paturohman, Maman Abdurrahman, Dindin Sholahudin, Didin Syarifudin, Udin Saefudin dll. Konon, perkawinan Sunda-Rusia menghasilkan nama inovatif: Cecep Ghorbacev.

Empat, kata sebutan atau kata panggilan masa kecil di Sunda menjadi nama resmi: Ujang, Nyai, Eneng, Enok, Eulis (dari geulis) dan Cecep dan Asep (dari kasep), yang tidak ada adalah Deudeuh, Bageur, Baong, Bedegul, Bantangor dll. Ada problem psikologis, ketika nama-nama lokal desawi ini mengalami tranformasi karena menempuh pendidikan tinggi (S3) dan menjadi doktor, jadilah Doktor Ujang, Dr. Eneng, Prof. Cecep dsb. Semestinya tidak masalah, tapi ada seorang doktor (dosen di sebuah PTN) yang merasa tidak nyaman setelah gelar bergengsinya diikuti naman Ujang. Atau, ada nama Utang yang setelah menjadi haji merasa ada beban psikologis ketika harus menuliskan gelar “H.” didepan namanya. Lebih beban lagi bila nama Utang menjadi kiayi tapi belum haji, maka didepan namanya dia harus menulis huruf K.

Bila di Sunda terjadi akulturasi Sunda Arab, di Medan akultasi lokal Barat. Di Batak Kristen, nama-nama lokal banyak bersanding dengan nama Barat sejak Kristen masuk ke daerah itu tahun 1800: Albert Situmorang, Victor Sibutar-butar, James Hutahuruk, Bernard Tarigan, Wilson Rajagukguk, Frans Sinaga, Jhony Pangaribuan.

Seni dan rasa bahasa pada tatanama ini sekarang terus tergerus. Selain Bahasa Indonesia sudah semakin rusak oleh bahasa pergaulan dan banjirnya istilah asing, rasa bahasa nama pun semakin pudar dan menghilang. Generasi baru keluarga Indonesia sudah semakin enggan menamai anak-anaknya dengan nama lokal dan daerah. Nama-nama aneh pun kini banyak bermunculan pada keluarga-keluarga baru: Keisya, Zetta, Nabeela, Anastasia, Tasya, Zafeela, Vanessa, Priscilla, Kevin, Rafael, Chesta, Marcella, Calista, Kenzie, Azalea, Rafello, Aziesta bahkan Zebra. Nama-nama khas lokal Jawa seperti Sugeng, Paijo, Sentot, Sostro, Prakoso, Baskoro, Susilo, Yudhoyono, atau Poniyem, Waginem, Sugiyem, kini banyak tak dipakai. Dan di Sunda, Asep, Cecep, Sasmita, Adang, Atep, Maman, Dadang, Udin, Eti, Esih, Lilis, Oman, Jajang dll tidak terdengar lagi sebagai nama anak-anak. Romantisme sekarang diberikan sebagai nama pada anak-anaknya dengan simbol-simbol asmara: Cinta, Rindu, Yayang, Bunga, Mawar, Melati dll. Untung tidak ada yang mengabadikan kenangan sakit hati menjadi nama anak-anaknya: Awas, Jahat, Tega, Benci, Sebel, Putus, Sedih, Hancur Hatiku dll.

Yang menyedihkan adalah korban gengsi modernisasi. Nama-nama hasil ijtihad orang tua, hasil ‘ngabubur beureum ngabubur bodas,’ dianggap tak cukup komersil dalam dunia hiburan dan bergantilah menjadi nama gaul: Cucu Suryaningsih menjadi Evi Tamala, Rianto menjadi Tukul Arwana, Sanny Aura Syahrani menjadi Aura Kasih, Tuwuhadijatitesih Amaranggana menjadi Amara Lingua, Noni Annisa Ramadhani menjadi Donita, Yulia Rahmawati menjadi Julia Perez dan Entis Sutisna menjadi Sule.
Sebelum krisis kebudayaan semakin akut oleh modernisasi yang menghapus jatidiri dan globalisasi yang menggilas lokalitas diperlukan ruwatan kebudayaan agar jati diri tidak hilang. Identitas menunjukkan kebudayaan. Identitas sebuah masyarakat menghilang, kebudayaannya pun melayang.[]

One thought on “Nama, Rasa Bahasa dan Ruwatan Kebudayaan

Leave a comment